Sunday, July 17, 2016

MEDIA DAN OBJEKTIFIKASI SEKSUAL



Masyarakat Indonesia beberapa bulan terakhir ini seperti tersentak oleh berita-berita kekerasan seksual yang disajikan media massa. Kalau kita simak, berita-berita tersebut lazim menyertakan deskripsi fisik perempuan yang menjadi korban. Misalnya, bahwasan korban adalah perempuan yang cantik atau berkulit kuning langsat. Bahkan ketika seorang anak balita perempuan pun diperkosa, perlu disebutkan bahwa balita tersebut cantik. “Balita cantik yang diperkosa dan dibunuh di Bogor…”, begitu sebuah berita diawali. Status marital perempuan korban juga biasa diungkapkan. Sudah sering kita baca berita pemerkosaan dengan headline “Gadis diperkosa…”, …“Janda muda diperkosa…”

Sebenarnya, kalau kita berpikir kritis, penggambaran di atas tidak ada relevansinya dengan peristiwa kekerasan yang terjadi. Tetapi mengapa hal ini sering ditemukan dalam pemberitaan media?

Objektifikasi Seksual
Jawaban untuk pertanyaan di atas berhubungan erat dengan bagaimana media merepresentasikan perempuan. Representasi perempuan dalam media sudah lama menjadi perhatian studi-studi dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Dalam hal ini, cukup banyak studi yang menggunakan perspektif feminis untuk mengkaji masalah perempuan dan media. Kajian-kajian tersebut sudah muncul sejak awal 1960-an dan 1970-an, tetapi banyak mengalami perkembangan sebagaimana dibahas pada akhir tulisan.

Denis Chiasson (www.pinterest.com)
Analisis feminis, yang berlandaskan teori “male gaze” (Laura Mulvey, 1975) dan teori psikologi “objectification theory” (Fredrickson and Roberts, 1997), melihat bahwa industri media (film, media cetak, media elektronik, dan sebagainya) melakukan objektifikasi seksual terhadap perempuan. Kedua teori ini melihat bahwa tampilan fisik perempuan dipandang dan diobservasi dari sudut pandang audiens laki-laki, dijadikan objek untuk dinikmati laki-laki dan untuk menghibur mereka, serta untuk memenuhi hasrat mereka.

Walaupun diskusi mengenai objektifikasi seksual perempuan lebih banyak berkisar pada masa era industri modern, sebenarnya jauh sebelumnya, lukisan-lukisan perempuan tanpa busana pada masa Renaissance juga merupakan manifestasi dari “male gaze” yang kita kenal pada masa kini.

Dalam objektifikasi terhadap perempuan ini, tubuh perempuan tidak dilihat sebagai sebuah kesatuan utuh tubuh manusia, melainkan sebagai potongan-potongan bagian tubuh, misalnya paha, payudara, pinggul, dan sebagainya. Berbagai studi terutama melihat hal ini dalam iklan-iklan dan menyebut media sebagai agen yang turut melanggengkan budaya yang mendehumanisasi dan mengkomodifikasi perempuan.

Oleh para pakar gender dan media, bagaimana media massa menampilkan sosok perempuan kerap dikaitkan dengan ideologi gender dominan. Ideologi gender ini merupakan bagian dari ideologi dominan masyarakat. Ideologi dominan mencakup nilai-nilai dan kepercayaan yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari manusia sehingga tampak normal, alami, dan masuk akal.

Hal-hal di atas memengaruhi bagaimana sebuah berita dikemas, seperti berita-berita kekerasan terhadap perempuan.

Citra dan Stereotip
Meski disebut “male gaze”, audiens media tidak hanya terbatas pada laki-laki, tetapi juga mencakup kaum perempuan sendiri. Perempuan memandang dirinya baik dari perspektif dirinya sendiri maupun pihak ketiga. Ini karena perempuan menginternalisasi nilai-nilai gender yang mengobjektifikasi perempuan dalam budaya masyarakat.

Dengan hadirnya perempuan sebagai “penonton”, kondisi ini menanamkan kepada perempuan tentang sebuah citra ideal perempuan sebagaimana diharapkan oleh masyarakat. Kondisi ini memengaruhi audiens perempuan untuk memenuhi citra tersebut. Misalnya, jika media berulang-ulang menggambarkan bahwa perempuan-perempuan yang sukses dalam kehidupan pribadi dan sosialnya adalah perempuan yang berkulit putih dan langsing dan bisa mempunyai anak, maka inilah citra ideal perempuan yang kemudian memengaruhi persepsi masyarakat, termasuk audiens perempuan. Oleh karena itu, media memainkan peran dalam mengukuhkan sebuah citra dan sereotip tentang perempuan.

Stereotip ini umumnya didasarkan pada peran-peran gender yang sudah berlaku, yang mana citra perempuan cenderung diasosiasikan dengan peran perempuan di bidang domestik sebagai istri, ibu, pengasuh, dan pengurus rumah tangga dan sebaliknya laki-laki lebih mewakili wilayah publik yang menyangkut bidang-bidang ekonomi dan politik.

Namun, di sisi lain, seolah-olah bertentangan dengan citra di atas, media massa juga menampilkan citra perempuan lajang dan “available” sebagai objek seksual yang hadir untuk menyenangkan audiens, terutama laki-laki, sering dengan menonjolkan bagian-bagian tubuh tertentu. Citra ini dipandang “seronok” tetapi dinikmati dan sekaligus dikecam masyarakat.

Dengan ditampilkannya dua sosok perempuan yang saling bertentangan ini, media menawarkan sebuah citra perempuan yang memenuhi permintaan pasar, yakni: citra moral “perempuan baik-baik” dan “perempuan tidak baik”; yang pertama untuk disimpan di rumah dan yang kedua untuk bercengkerama di arena sosial, kalau pun hanya di tataran fantasi, itu pun tidak apa-apa.

Perempuan dalam Pemberitaan Media
Bagaimana media menampilkan perempuan dan memberitakan kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan dipengaruhi oleh objektifikasi seksual media terhadap perempuan. Kisah atau berita tentang perempuan yang menjadi korban lebih dipaparkan sehubungan dengan fungsi seksualnya bagi laki-laki daripada sebagai sebuah pelanggaran terhadap asasi manusia.

Henri Matisse
Studi-studi akademik mengenai berita-berita kekerasan terhadap perempuan menyimpulkan bahwa pemberitaan media terhadap kasus perkosaan tidak sensitif gender dan tidak dibangun dari angle kesetaraan gender. Di Indonesia, tak jarang headline-headline berita perkosaan dibuat seperti berita hiburan untuk menarik pembaca.

Dalam pemberitaan kekerasan seksual, media cenderung menggunakan bahasa yang menggambarkan perempuan sebagai manusia yang diukur harga dirinya dari sudut pandang kondisi tubuhnya. Hal ini sangat tampak pada pemberitaan media di Indonesia yang kerap menggunakan kata-kata seperti “seorang gadis dinodai”. Alih-alih memfokuskan pada invasi seksual terhadap tubuh korban, isi berita lebih menggambarkan kemalangan yang dialami korban karena tubuhnya telah dijamah. Tadinya ia dianggap bersih dan suci. Setelah mengalami kejahatan seksual, ia seolah-olah menjadi kotor, ternodai.

Para pelaku kekerasan seksual sering menjustifkasi perilaku mereka dengan menyalahkan media-media yang mempertontonkan seks dan tubuh perempuan serta membangkitkan syahwat. Oleh karena itu, sering isunya jadi beralih ke bagaimana perempuan berpakaian dan menutupi/membuka tubuhnya sebagai hal yang membangkitkan tindak perkosaan.

Tak jarang persepsi di atas meletakkan pemecahan masalah kekerasan seksual pada kebiasaan berpakaian perempuan yang kemudian dikaitkan dengan moral seorang perempuan. Namun, persepsi ini keliru memetakan permasalahan sebenarnya. Masalah hakikinya adalah perempuan dijadikan objek seksual—menjadi objek pemberi kesenangan dan pemenuh hasrat seksual, objek yang dipandang dari fungsi seksualnya terhadap laki-laki. Selama perempuan ditempatkan sebagai objek seksual, maka bagaimana mereka berpakaian–apakah terlalu terbuka atau terlalu menutupi tubuhnya–akan menjadi hal yang terus menyulut kontroversi, meski bukan itu akar permasalahannya.

Objektifikasi Diri = Pemberdayaan?
Hal lain yang menyulut kontroversi adalah bagaimana perempuan dapat menjadi agen yang secara aktif mengobjektifikasi dirinya sendiri melalui media massa. Selain sebagai audiens, perempuan juga bisa melakukan objektifikasi diri (self-objectification) dengan menyajikan dirinya sebagai objek seksual untuk dinikmati audiens. Hal ini sehari-hari bisa kita lihat contohnya dari sekadar posting foto di media sosial atau pada penampilan di video-video musik.

Karena kita hidup dalam masyarakat di mana penampilan fisik seorang perempuan mempunyai pengaruh, upaya memenuhi standar kecantikan dan citra ideal fisik perempuan yang berlaku, bisa menjadi rewarding bagi seorang perempuan. Ada pandangan bahwa dengan tunduk dan memenuhi standar dan citra ideal tersebut, seorang perempuan akan memperoleh kemudahan dalam jalan hidupnya, apakah dalam aspek cinta, ekonomi, karir, atau pun pergaulan sosial. Dalam konteks ini, media sering dianggap sebagai salah satu sarana yang dapat dimanfaatkan perempuan.

Berkaitan dengan hal di atas, ada yang menganggap bahwa objektifikasi diri yang dilakukan perempuan pada berbagai jenis media merupakan wujud dari pemberdayaan perempuan. Perempuan bebas mengekspresikan dirinya, dapat meningkatkan mobilitas sosial atau ekonominya–dan hal yang penting–dalam melakukannya, mereka memiliki kontrol terhadap tubuhnya sendiri. Tetapi hal terakhir ini masih perlu dipertanyakan secara kritis karena kalau definisi tentang citra ideal dan standar kecantikan masih didikte oleh pasar dan persepsi sebagian masyarakat, asumsi tentang kontrol perempuan terhadap tubuh sendiri tadi menjadi sangat meragukan.

Objektifikasi Laki-laki
Tak dapat dipungkiri kalau kita berada pada era di mana bukan perempuan saja, tetapi laki-laki pun menjadi komoditas seksual. Objektifikasi diri di media sebagai salah satu bentuk komodifikasi juga dilakukan laki-laki, walau mungkin tidak ditemui sebanyak perempuan. Hal yang bahkan menjadi perbincangan di media-media Barat beberapa tahun terakhir ini adalah objektifikasi seksual laki-laki pada berbagai iklan, termasuk untuk produk-produk yang target konsumen utamanya perempuan. Peran-peran untuk laki-laki dalam film pun mensyaratkan bentuk tubuh yang tidak dimiliki laki-laki pada umumnya.

Karena ideologi gender yang hadir di tengah-tengah masyarakat masih terutama menempatkan perempuan sebagai objek seksual, maka dampak sosial terhadap objektfikasi laki-laki tidak sekuat pada perempuan dan tidak sesistematis yang dialami perempuan. Namun, banyak perdebatan yang mengitari isu ini.

Media Menghambat Kesetaraan Gender?
Sebagaimana teori yang muncul pada 1960–70an, media sebagai salah satu institusi masyarakat dipandang merefleksi ideologi gender yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Namun, teori-teori yang berkembang kemudian melihat bahwa media bukan saja sekadar mencerminkan dan mereproduksi sebuah nilai gender yang dominan dalam masyarakat, tetapi media secara aktif memproduksi struktur-struktur gender melalui tayangan atau pemberitaannya hingga menjadi agen yang merepresentasi apa yang “nyata” atau “benar”.

Di sisi lain, media bahkan dapat menantang ideologi yang berlaku dan berperan dalam pembaruan. Namun secara umum, para pakar gender masih memandang media sebagai institusi yang menghambat tercapainya kesetaraan gender.

Lembaga-lembaga internasional dan berbagai negera telah menyadari dampak media dan pentingnya melakukan perubahan pada media massa dengan mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki dan meningkatkan peran media dalam upaya mencapai kesetaraan gender.

Henri Matisse
UNESCO sudah sejak 1970-an melakukan penelitian terhadap media dan hasilnya menunjukkan bahwa media memiliki andil dalam mengukuhkan diskriminasi gender. Pada 2016 UNESCO mengimbau perlunya peningkatan jurnalis dan pelaku media perempuan dalam posisi-posisi strategis di institusi-institusi media dalam upaya meningkatkan keseteraan gender.

Landasan Aksi Beijing (1995) juga merumuskan strategi objektif untuk perempuan dan media yang salah satunya bertujuan untuk mendorong media agar menampilkan sosok perempuan yang tidak dilandasi stereotip gender.

Berbagai negara yang tergabung dalam Uni Eropa (EU 27) juga telah melakukan studi mengenai dampak media di negara-negaranya dan melakukan kerja sama untuk mengubah kondisi media yang selama ini dianggap menghalangi tercapainya kesetaraan gender. Mereka meninjau kembali pedoman dan standar pemberitaan media yang selama ini dipraktikkan masing-masing negara dan menjajaki praktik-praktik terbaik.

Indonesia juga sudah memiliki berbagai pedoman bagi pelaku media. Pedoman media siber mempunyai ketentuan tidak diperbolehkannya pemberitaan yang mengandung unsur diskriminasi jenis kelamin. Namun, diskriminasi gender atau jenis kelamin itu wujudnya kompleks dan adanya kelaziman praktik gender dalam kehidupan sehari-hari mengakibatkan berbagai praktik tersebut tidak disadari sebagai diskriminasi baik oleh pelaku media maupun masyarakat. Ketika disadari pun, aspek-aspek bisnis dan keuntungan tentunya menjadi faktor yang membuat media enggan mengubah kondisi yang ada.  

Apakah sudah ada studi kritis baru terhadap konten media di Indonesia? Hal ini perlu dilakukan untuk mengungkap kondisi mutakhir dan meningkatkan kesadaran masyarakat. Berdasarkan hasil studi tersebut bisa diadakan peninjauan kembali pedoman-pedoman dan standar media di Indonesia untuk mencegah dan secara bertahap menghapus praktik-praktik media yang selama ini menghambat kesetaraan gender. Di samping itu, diskusi dan pelatihan jurnalisme dengan tujuan meningkatkan pemahaman kritis tentang gender tentunya perlu terus dilaksanakan.

Karena media-media mempunyai target audiens yang berbeda, tentu tidak bisa digeneralisasi bahwa media di Indonesia semuanya sama dalam merepresentasikan perempuan, termasuk dalam bagaimana mereka mengobjektifikasi perempuan. Dalam konteks media berita di Indonesia, beberapa tampak kritis terhadap status quo, tetapi dalam hal status quo gender lebih banyak memilih untuk mengikuti arus utama. 

Di sisi lain, audiens juga tidak bisa dianggap sebagai kelompok yang homogen yang secara pasif menerima apa yang disuguhkan media. Pesan-pesan yang disampaikan media dapat disambut secara multitafsir, tetapi biasanya masih dalam batasan kerangka ideologis struktur-struktur kekuasaan yang dominan. Sudah selayaknya media era milenium menantang struktur-struktur kekuasaan tersebut untuk mendukung pemberdayaan perempuan.



Sumber

Carter, Cynthia (2011) Sex/Gender and the Media: From Sex Roles to Social Construction and Beyond [dalam jaringan]


<http://www.academia.edu/2282271/Sex_Gender_and_the_Media_From_Sex_Roles_to_Social_Construction_
and_Beyond> [12 Juli 2016].


Dewan Pers Indonesia (2012) Pedoman Pemberitaan Media Siber [dalam jaringan]
<http://dewanpers.or.id/pedoman/detail/167/pedoman-pemberitaan-media-siber> [16 Juli 2016].

European Parliament (2013) Women and Girls as Subjects of Media’s Attention and Advertisement Campaigns: The Situation in Europe. Best Practices and Legislation [dalam jaringan]
<http://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/etudes/join/2013/474442/IPOL-FEMM_ET(2013)474442_EN.pdf> [12 Juni 2016].


Gallagher, Margaret (2003) ‘Feminist Media Perspectives.’ Dalam A Companion to Media Studies. Angharad N. Valdivia (ed.). Malden, Massachusetts: Blackwell Publishing, h. 19–39 [dalam jaringan]
<http://www.blackwellpublishing.com/content/BPL_Images/Content_store/Sample_chapter/9780631226017/Valdivia_001.pdf> [11 Juni 2016].


Gianatasio, David (2013) ‘Hunkvertising: The Objectification of Men in Advertising, Some wish they'd just keep their assets covered.’ Adweek [dalam jaringan]
<http://www.adweek.com/news/advertising-branding/hunkvertising-objectification-men-advertising-152925> [15 Juli 2016].

Miller, Gina (n.d.) The Consequences of the “Male Gaze” and Sexual Objectification [dalam jaringan]
<https://ginacalnan.pbworks.com/f/themalegaze.pdf> [22 Mei 2016].

Szymanski, Dawn M., Lauren B. Moffitt, dan Erika R. Carr (2011) ‘Sexual Objectification of Women: Advances to Theory and Research.’ The Counseling Psychologist 39 (1) 6–38 [dalam jaringan]
<https://www.apa.org/education/ce/sexual-objectification.pdf> [22 Mei 2016].

Tempo.co <https://www.tempo.co/topik/masalah/196/perkosaan> [17 Juni 2016].

UN Women (n.d.) The United Nations Fourth World Conference on Women [dalam jaringan] <http://www.un.org/womenwatch/daw/beijing/platform/media.htm> [12 Juli 2016].

UNESCO (2016) Women Make the News 2016. Brief [dalam jaringan]
http://www.unesco.org/new/fileadmin/MULTIMEDIA/HQ/CI/CI/pdf/Events/wmn2016_brief_en.pdf

Zurbriggen, Eileen L. (2013) ‘Objectification, Self-Objectification, and Societal Change.’ Journal of Social and Political Psychology Vol. 1 (1), doi:10.5964/jspp.v1i1.94 [dalam jaringan]
<http://jspp.psychopen.eu/article/view/94/html> [26 Juni 2016].