Masyarakat
Indonesia beberapa bulan terakhir ini seperti tersentak oleh berita-berita
kekerasan seksual yang disajikan media massa. Kalau kita simak, berita-berita
tersebut lazim menyertakan deskripsi fisik perempuan yang menjadi korban.
Misalnya, bahwasan korban adalah perempuan yang cantik atau berkulit kuning
langsat. Bahkan ketika seorang anak balita perempuan pun diperkosa, perlu
disebutkan bahwa balita tersebut cantik. “Balita cantik yang diperkosa dan
dibunuh di Bogor…”, begitu sebuah berita diawali. Status marital perempuan
korban juga biasa diungkapkan. Sudah sering kita baca berita pemerkosaan dengan
headline “Gadis diperkosa…”, …“Janda
muda diperkosa…”
Sebenarnya,
kalau kita berpikir kritis, penggambaran di atas tidak ada relevansinya dengan peristiwa
kekerasan yang terjadi. Tetapi mengapa hal ini sering ditemukan dalam
pemberitaan media?
Objektifikasi Seksual
Jawaban
untuk pertanyaan di atas berhubungan erat dengan bagaimana media
merepresentasikan perempuan. Representasi perempuan dalam media sudah lama menjadi
perhatian studi-studi dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Dalam hal ini,
cukup banyak studi yang menggunakan perspektif feminis untuk mengkaji masalah
perempuan dan media. Kajian-kajian tersebut sudah muncul sejak awal 1960-an dan
1970-an, tetapi banyak mengalami perkembangan sebagaimana dibahas pada akhir
tulisan.
Denis Chiasson (www.pinterest.com) |
Analisis
feminis, yang berlandaskan teori “male gaze” (Laura Mulvey, 1975) dan teori
psikologi “objectification theory” (Fredrickson and Roberts, 1997), melihat
bahwa industri media (film, media cetak, media elektronik, dan sebagainya) melakukan
objektifikasi seksual terhadap perempuan. Kedua teori ini melihat bahwa tampilan
fisik perempuan dipandang dan diobservasi dari sudut pandang audiens laki-laki,
dijadikan objek untuk dinikmati laki-laki dan untuk menghibur mereka, serta untuk
memenuhi hasrat mereka.
Walaupun
diskusi mengenai objektifikasi seksual perempuan lebih banyak berkisar pada
masa era industri modern, sebenarnya jauh sebelumnya, lukisan-lukisan perempuan
tanpa busana pada masa Renaissance juga merupakan manifestasi dari “male gaze”
yang kita kenal pada masa kini.
Dalam
objektifikasi terhadap perempuan ini, tubuh perempuan tidak dilihat sebagai
sebuah kesatuan utuh tubuh manusia, melainkan sebagai potongan-potongan bagian
tubuh, misalnya paha, payudara, pinggul, dan sebagainya. Berbagai studi
terutama melihat hal ini dalam iklan-iklan dan menyebut media sebagai agen yang
turut melanggengkan budaya yang mendehumanisasi dan mengkomodifikasi perempuan.
Oleh
para pakar gender dan media, bagaimana media massa menampilkan sosok perempuan
kerap dikaitkan dengan ideologi gender dominan. Ideologi gender ini merupakan
bagian dari ideologi dominan masyarakat. Ideologi dominan mencakup nilai-nilai
dan kepercayaan yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari manusia sehingga tampak normal, alami, dan masuk akal.
Hal-hal
di atas memengaruhi bagaimana sebuah berita dikemas, seperti berita-berita
kekerasan terhadap perempuan.
Citra dan Stereotip
Meski
disebut “male gaze”, audiens media tidak hanya terbatas pada laki-laki, tetapi
juga mencakup kaum perempuan sendiri. Perempuan memandang dirinya baik dari
perspektif dirinya sendiri maupun pihak ketiga. Ini karena perempuan
menginternalisasi nilai-nilai gender yang mengobjektifikasi perempuan dalam budaya
masyarakat.
Dengan
hadirnya perempuan sebagai “penonton”, kondisi ini menanamkan kepada perempuan
tentang sebuah citra ideal perempuan sebagaimana diharapkan oleh masyarakat. Kondisi
ini memengaruhi audiens perempuan untuk memenuhi citra tersebut. Misalnya, jika
media berulang-ulang menggambarkan bahwa perempuan-perempuan yang sukses dalam
kehidupan pribadi dan sosialnya adalah perempuan yang berkulit putih dan langsing
dan bisa mempunyai anak, maka inilah citra ideal perempuan yang kemudian memengaruhi
persepsi masyarakat, termasuk audiens perempuan. Oleh karena itu, media memainkan
peran dalam mengukuhkan sebuah citra dan sereotip tentang perempuan.
Stereotip
ini umumnya didasarkan pada peran-peran gender yang sudah berlaku, yang mana
citra perempuan cenderung diasosiasikan dengan peran perempuan di bidang
domestik sebagai istri, ibu, pengasuh, dan pengurus rumah tangga dan sebaliknya
laki-laki lebih mewakili wilayah publik yang menyangkut bidang-bidang ekonomi
dan politik.
Namun,
di sisi lain, seolah-olah bertentangan dengan citra di atas, media massa juga menampilkan
citra perempuan lajang dan “available” sebagai objek seksual yang hadir untuk
menyenangkan audiens, terutama laki-laki, sering dengan menonjolkan bagian-bagian
tubuh tertentu. Citra ini dipandang “seronok” tetapi dinikmati dan sekaligus
dikecam masyarakat.
Dengan
ditampilkannya dua sosok perempuan yang saling bertentangan ini, media menawarkan
sebuah citra perempuan yang memenuhi permintaan pasar, yakni: citra moral “perempuan
baik-baik” dan “perempuan tidak baik”; yang pertama untuk disimpan di rumah dan
yang kedua untuk bercengkerama di arena sosial, kalau pun hanya di tataran
fantasi, itu pun tidak apa-apa.
Perempuan dalam
Pemberitaan Media
Bagaimana
media menampilkan perempuan dan memberitakan kekerasan seksual yang terjadi
pada perempuan dipengaruhi oleh objektifikasi seksual media terhadap perempuan.
Kisah atau berita tentang perempuan yang menjadi korban lebih dipaparkan
sehubungan dengan fungsi seksualnya bagi laki-laki daripada sebagai sebuah
pelanggaran terhadap asasi manusia.
Henri Matisse |
Studi-studi
akademik mengenai berita-berita kekerasan terhadap perempuan menyimpulkan bahwa
pemberitaan media terhadap kasus perkosaan tidak sensitif gender dan tidak
dibangun dari angle kesetaraan gender.
Di Indonesia, tak jarang headline-headline
berita perkosaan dibuat seperti berita hiburan untuk menarik pembaca.
Dalam
pemberitaan kekerasan seksual, media cenderung menggunakan bahasa yang menggambarkan
perempuan sebagai manusia yang diukur harga dirinya dari sudut pandang kondisi tubuhnya.
Hal ini sangat tampak pada pemberitaan media di Indonesia yang kerap
menggunakan kata-kata seperti “seorang gadis dinodai”. Alih-alih memfokuskan pada
invasi seksual terhadap tubuh korban, isi berita lebih menggambarkan kemalangan
yang dialami korban karena tubuhnya telah dijamah. Tadinya ia dianggap bersih
dan suci. Setelah mengalami kejahatan seksual, ia seolah-olah menjadi kotor,
ternodai.
Para
pelaku kekerasan seksual sering menjustifkasi perilaku mereka dengan menyalahkan
media-media yang mempertontonkan seks dan tubuh perempuan serta membangkitkan
syahwat. Oleh karena itu, sering isunya jadi beralih ke bagaimana perempuan
berpakaian dan menutupi/membuka tubuhnya sebagai hal yang membangkitkan tindak
perkosaan.
Tak
jarang persepsi di atas meletakkan pemecahan masalah kekerasan seksual pada kebiasaan
berpakaian perempuan yang kemudian dikaitkan dengan moral seorang perempuan.
Namun, persepsi ini keliru memetakan permasalahan sebenarnya. Masalah hakikinya
adalah perempuan dijadikan objek seksual—menjadi objek pemberi kesenangan dan
pemenuh hasrat seksual, objek yang dipandang dari fungsi seksualnya terhadap
laki-laki. Selama perempuan ditempatkan sebagai objek seksual, maka bagaimana
mereka berpakaian–apakah terlalu terbuka atau terlalu menutupi tubuhnya–akan
menjadi hal yang terus menyulut kontroversi, meski bukan itu akar
permasalahannya.
Objektifikasi Diri =
Pemberdayaan?
Hal
lain yang menyulut kontroversi adalah bagaimana perempuan dapat menjadi agen
yang secara aktif mengobjektifikasi dirinya sendiri melalui media massa. Selain
sebagai audiens, perempuan juga bisa melakukan objektifikasi diri (self-objectification) dengan menyajikan
dirinya sebagai objek seksual untuk dinikmati audiens. Hal ini sehari-hari bisa
kita lihat contohnya dari sekadar posting
foto di media sosial atau pada penampilan di video-video musik.
Karena
kita hidup dalam masyarakat di mana penampilan fisik seorang perempuan
mempunyai pengaruh, upaya memenuhi standar kecantikan dan citra ideal fisik perempuan
yang berlaku, bisa menjadi rewarding
bagi seorang perempuan. Ada pandangan bahwa dengan tunduk dan memenuhi standar
dan citra ideal tersebut, seorang perempuan akan memperoleh kemudahan dalam
jalan hidupnya, apakah dalam aspek cinta, ekonomi, karir, atau pun pergaulan
sosial. Dalam konteks ini, media sering dianggap sebagai salah satu sarana yang
dapat dimanfaatkan perempuan.
Berkaitan
dengan hal di atas, ada yang menganggap bahwa objektifikasi diri yang dilakukan
perempuan pada berbagai jenis media merupakan wujud dari pemberdayaan
perempuan. Perempuan bebas mengekspresikan dirinya, dapat meningkatkan
mobilitas sosial atau ekonominya–dan hal yang penting–dalam melakukannya, mereka
memiliki kontrol terhadap tubuhnya sendiri. Tetapi hal terakhir ini masih perlu
dipertanyakan secara kritis karena kalau definisi tentang citra ideal dan
standar kecantikan masih didikte oleh pasar dan persepsi sebagian masyarakat,
asumsi tentang kontrol perempuan terhadap tubuh sendiri tadi menjadi sangat
meragukan.
Objektifikasi
Laki-laki
Tak
dapat dipungkiri kalau kita berada pada era di mana bukan perempuan saja,
tetapi laki-laki pun menjadi komoditas seksual. Objektifikasi diri di media
sebagai salah satu bentuk komodifikasi juga dilakukan laki-laki, walau mungkin
tidak ditemui sebanyak perempuan. Hal yang bahkan menjadi perbincangan di media-media
Barat beberapa tahun terakhir ini adalah objektifikasi seksual laki-laki pada
berbagai iklan, termasuk untuk produk-produk yang target konsumen utamanya
perempuan. Peran-peran untuk laki-laki dalam film pun mensyaratkan bentuk tubuh
yang tidak dimiliki laki-laki pada umumnya.
Karena
ideologi gender yang hadir di tengah-tengah masyarakat masih terutama menempatkan
perempuan sebagai objek seksual, maka dampak sosial terhadap objektfikasi
laki-laki tidak sekuat pada perempuan dan tidak sesistematis yang dialami
perempuan. Namun, banyak perdebatan yang mengitari isu ini.
Media Menghambat
Kesetaraan Gender?
Sebagaimana
teori yang muncul pada 1960–70an, media sebagai salah satu institusi masyarakat
dipandang merefleksi ideologi gender yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Namun,
teori-teori yang berkembang kemudian melihat bahwa media bukan saja sekadar mencerminkan
dan mereproduksi sebuah nilai gender yang dominan dalam masyarakat, tetapi media
secara aktif memproduksi struktur-struktur gender melalui tayangan atau
pemberitaannya hingga menjadi agen yang merepresentasi apa yang “nyata” atau
“benar”.
Di
sisi lain, media bahkan dapat menantang ideologi yang berlaku dan berperan
dalam pembaruan. Namun secara umum, para pakar gender masih memandang media
sebagai institusi yang menghambat tercapainya kesetaraan gender.
Lembaga-lembaga
internasional dan berbagai negera telah menyadari dampak media dan pentingnya
melakukan perubahan pada media massa dengan mengambil langkah-langkah untuk
memperbaiki dan meningkatkan peran media dalam upaya mencapai kesetaraan
gender.
Henri Matisse |
Landasan
Aksi Beijing (1995) juga merumuskan strategi objektif untuk perempuan dan media
yang salah satunya bertujuan untuk mendorong media agar menampilkan sosok
perempuan yang tidak dilandasi stereotip gender.
Berbagai
negara yang tergabung dalam Uni Eropa (EU 27) juga telah melakukan studi
mengenai dampak media di negara-negaranya dan melakukan kerja sama untuk
mengubah kondisi media yang selama ini dianggap menghalangi tercapainya
kesetaraan gender. Mereka meninjau kembali pedoman dan standar pemberitaan
media yang selama ini dipraktikkan masing-masing negara dan menjajaki
praktik-praktik terbaik.
Indonesia
juga sudah memiliki berbagai pedoman bagi pelaku media. Pedoman media siber
mempunyai ketentuan tidak diperbolehkannya pemberitaan yang mengandung
unsur diskriminasi jenis kelamin. Namun, diskriminasi gender atau jenis kelamin
itu wujudnya kompleks dan adanya kelaziman praktik gender dalam kehidupan
sehari-hari mengakibatkan berbagai praktik tersebut tidak disadari sebagai
diskriminasi baik oleh pelaku media maupun masyarakat. Ketika disadari pun, aspek-aspek
bisnis dan keuntungan tentunya menjadi faktor yang membuat media enggan
mengubah kondisi yang ada.
Apakah
sudah ada studi kritis baru terhadap konten media di Indonesia? Hal ini perlu
dilakukan untuk mengungkap kondisi mutakhir dan meningkatkan kesadaran
masyarakat. Berdasarkan hasil studi tersebut bisa diadakan peninjauan kembali
pedoman-pedoman dan standar media di Indonesia untuk mencegah dan secara bertahap
menghapus praktik-praktik media yang selama ini menghambat kesetaraan gender. Di
samping itu, diskusi dan pelatihan jurnalisme dengan tujuan meningkatkan
pemahaman kritis tentang gender tentunya perlu terus dilaksanakan.
Karena
media-media mempunyai target audiens yang berbeda, tentu tidak bisa
digeneralisasi bahwa media di Indonesia semuanya sama dalam merepresentasikan
perempuan, termasuk dalam bagaimana mereka mengobjektifikasi perempuan.
Dalam konteks media berita di Indonesia, beberapa tampak kritis terhadap status quo, tetapi dalam
hal status quo gender lebih banyak memilih untuk mengikuti arus utama.
Di sisi lain, audiens juga tidak bisa dianggap sebagai kelompok yang homogen yang secara pasif menerima apa yang disuguhkan media. Pesan-pesan yang disampaikan media dapat disambut secara multitafsir, tetapi biasanya masih dalam batasan kerangka ideologis struktur-struktur kekuasaan yang dominan. Sudah selayaknya media era milenium menantang struktur-struktur kekuasaan tersebut untuk mendukung pemberdayaan perempuan.
Di sisi lain, audiens juga tidak bisa dianggap sebagai kelompok yang homogen yang secara pasif menerima apa yang disuguhkan media. Pesan-pesan yang disampaikan media dapat disambut secara multitafsir, tetapi biasanya masih dalam batasan kerangka ideologis struktur-struktur kekuasaan yang dominan. Sudah selayaknya media era milenium menantang struktur-struktur kekuasaan tersebut untuk mendukung pemberdayaan perempuan.
Sumber
Carter, Cynthia (2011) Sex/Gender and the Media: From Sex Roles to Social Construction and Beyond [dalam jaringan]
<http://www.academia.edu/2282271/Sex_Gender_and_the_Media_From_Sex_Roles_to_Social_Construction_
and_Beyond> [12 Juli 2016].
Dewan Pers Indonesia (2012) Pedoman Pemberitaan Media Siber [dalam
jaringan]
<http://dewanpers.or.id/pedoman/detail/167/pedoman-pemberitaan-media-siber>
[16 Juli 2016].
European
Parliament (2013) Women and Girls as
Subjects of Media’s Attention and Advertisement Campaigns: The Situation in
Europe. Best Practices and Legislation [dalam jaringan]
<http://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/etudes/join/2013/474442/IPOL-FEMM_ET(2013)474442_EN.pdf>
[12 Juni 2016].
Gallagher, Margaret (2003) ‘Feminist
Media Perspectives.’ Dalam A Companion to Media Studies. Angharad N. Valdivia (ed.).
Malden, Massachusetts: Blackwell Publishing, h. 19–39 [dalam jaringan]
<http://www.blackwellpublishing.com/content/BPL_Images/Content_store/Sample_chapter/9780631226017/Valdivia_001.pdf>
[11 Juni 2016].
Gianatasio,
David (2013) ‘Hunkvertising:
The Objectification of Men in Advertising, Some wish they'd just keep
their assets covered.’ Adweek [dalam
jaringan]
<http://www.adweek.com/news/advertising-branding/hunkvertising-objectification-men-advertising-152925>
[15 Juli 2016].
Miller,
Gina (n.d.) The Consequences of the “Male
Gaze” and Sexual Objectification [dalam jaringan]
<https://ginacalnan.pbworks.com/f/themalegaze.pdf>
[22 Mei 2016].
Szymanski,
Dawn M., Lauren B. Moffitt, dan Erika R. Carr (2011) ‘Sexual Objectification of
Women: Advances to Theory and Research.’ The
Counseling Psychologist 39 (1) 6–38 [dalam jaringan]
<https://www.apa.org/education/ce/sexual-objectification.pdf>
[22 Mei 2016].
Tempo.co
<https://www.tempo.co/topik/masalah/196/perkosaan> [17 Juni 2016].
UN Women (n.d.) The United Nations Fourth World Conference on Women [dalam
jaringan] <http://www.un.org/womenwatch/daw/beijing/platform/media.htm>
[12 Juli 2016].
UNESCO (2016) Women Make the News 2016. Brief [dalam jaringan]
http://www.unesco.org/new/fileadmin/MULTIMEDIA/HQ/CI/CI/pdf/Events/wmn2016_brief_en.pdf
Objectification, Self-Objectification, and Societal Change.’ Journal of Social and Political Psychology Vol. 1 (1), doi:10.5964/jspp.v1i1.94
[dalam jaringan]
<http://jspp.psychopen.eu/article/view/94/html>
[26 Juni 2016].