Sunday, December 27, 2015

HILLARY CLINTON, BEYONCE, DAN FEMINISME: Tuntutan Generasi Milenium terhadap Keadilan Sosial




Saya ingin menegakkan perlindungan terhadap “women’s rights, gay rights, and… voting rights” serta melindungi “the struggling middle-class”, ungkap Hillary Clinton Oktober lalu, saat diwawancarai pada The Late Show, sebuah talk show malam yang ditayangkan di AS. Apakah pernyataan ini akan mengubah citra Clinton dan menjaring lebih banyak pemilih?

Pasalnya, selama karier politiknya, pendirian Clinton terkait hak-hak perempuan dan kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dianggap kurang tegas dan ambivalen oleh sebagian masyarakat AS. Bahkan kefeminisan Clinton sendiri kini sedang dipertanyakan oleh konstituen perempuan AS.

Keraguan terhadap Clinton

Keraguan terhadap Clinton tidak berubah meski dalam kampanyenya Clinton mengangkat isu-isu tentang hak perempuan atas upah yang sama, hak atas aborsi, dan pendidikan anak usia dini. Clinton menggelar inisiatif-inisiatif ekonomi yang disebut beberapa media sebagai inisiatif ekonomi properempuan, yakni cuti melahirkan yang dibayar, pengaturan waktu kerja yang lebih bersahabat terhadap ibu, dan tempat penitipan anak yang lebih terjangkau harganya.

Feminis milenium Amerika ingin perubahan yang lebih radikal daripada yang ditawarkan Clinton (Foto Hillary Clinton: www.kirramagazine.com)
Clinton bahkan mendukung peningkatan upah minimum yang ia anggap akan membantu banyak perempuan, termasuk perempuan orang tua tunggal, yang biasanya sangat rentan terperosok ke dalam kemiskinan. Hal ini bertentangan dengan persepsi umum terhadap Clinton yang selama ini memandangnya kurang memperhatikan kondisi perempuan miskin.

Masalahnya, masih banyak perempuan Amerika berpendapat bahwa Clinton belum keluar dari perspektif feminisme gelombang kedua. Perspektif ini dikritik hanya memperjuangkan hak-hak perempuan dari sudut pandang kaum perempuan kelas menengah terpelajar–yang di AS mayoritas adalah dari keluarga kulit putih. 

Banyak juga yang mengecap Clinton sebagai seorang ‘corporate feminist’. Kebijakan-kebijakannya dipandang mengabaikan opresi yang bersifat sistematis dan lintas kelompok sosial-ekonomi, serta hanya menguntungkan kalangan perempuan yang memang sudah relatif baik posisinya. 

Pandangan tersebut menumbuhkan keraguan terhadap kepemimpinan Clinton, terutama pada perempuan-perempuan muda AS. Menurut mereka, feminisme modern sudah banyak meninggalkan perspektif lama yang dikembangkan feminisme gelombang kedua yang bias kelas menengah dan kulit putih. 

Generasi perempuan muda Amerika menginginkan pemimpin perempuan yang merepresentasikan pluralitas. Bagi mereka, feminisme bukan saja menyangkut persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, tetapi mencakup perjuangan melawan ketidakadilan sosial dan kemiskinan, serta perjuangan menegakkan hak-hak kelompok yang terpinggirkan.

Feminisme Gelombang Kedua

Feminisme gelombang kedua ditandai oleh meluasnya gerakan feminisme liberal di AS dan negara-negara Eropa Barat pada era 1960-an–1970-an. Gerakan ini memperjuangkan kesetaraan hak-hak perempuan di pelbagai bidang kehidupan–baik di domain publik maupun privat–terutama melalui pembaruan hukum. 

Feminisme liberal mendorong perbaikan sistem ekonomi dan politik dengan menggunakan strategi protes dan lobi negara, di samping mendukung ditempatkannya perempuan-perempuan yang dianggap tepat pada posisi-posisi strategis di pemerintahan. Pemikiran feminisme liberal menekankan pada kebebasan individu, otonomi perempuan, dan kontrol perempuan terhadap tubuhnya sendiri, yang semuanya dipandang dapat diraih di bawah reformasi sistem negara.

Fokus utama feminisme liberal adalah pada menegakkan hak perempuan yang dilakukan melalui pembaruan hukum, tetapi tidak disertai kampanye yang cukup kuat untuk mengubah kondisi di domain privat (Foto Betty Friedan: www.nwhm.org)
Era gerakan feminisme ini sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan feminis AS seperti Betty Friedan (Feminine Mystic, 1963) dan Gloria Steinem (After Black Power, Women’s Liberation, 1969) yang membangkitkan kesadaran masyarakat tentang diskriminasi terhadap perempuan di domain publik. Tak dapat dipungkiri bahwa pemikiran feminis liberal menghadirkan pencerahan yang luar biasa dahsyat, terutama di tengah-tengah era demokrasi masyarakat Amerika ketika itu. Banyak perubahan yang meningkatkan status perempuan setelah era 1960-an yang merupakan hasil jerih payah kaum feminis liberal. 

Meski demikian, kritik keras tidak hanya datang dari gerakan kiri, tetapi juga dari aliran gerakan feminisme lainnya. Seperti yang sudah disinggung di atas, aliran ini dipandang lebih menyuarakan kepentingan perempuan kelas menengah kulit putih. Oleh karena itu, ia tidak akan banyak memengaruhi upaya pembebasan perempuan pekerja atau kelas bawah yang memang dari dulu sudah aktif bergelut di domain publik pada posisi-posisi kerja yang buruk—bekerja mencari nafkah untuk menyambung hidup dan bukan karena pilihan hidup.

Pemisahan dua wilayah kehidupan menjadi publik (kehidupan sosial dan politik) dan privat (kehidupan keluarga dan pribadi) melandasi baik doktrin liberal maupun filsafat hukum AS. Pemisahan ini–yang disokong oleh sebuah model tradisional pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin–dikritik feminsime liberal sebagai hal yang mengaburkan ketidaksetaraan gender di bawah asumsi-asumsi mengenai apa yang dipandang alamiah dan logis.

Dikotomi tersebut tidak mengakui adanya hubungan kekuasaan dalam relasi gender dan menutup mata terhadap diskriminasi terhadap perempuan, kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual, dan beban kerja domestik perempuan. 

Fokus utama aliran feminisme liberal untuk mengubah kondisi tersebut adalah dengan memberikan perempuan hak yang sama untuk berpartisipasi di domain publik dan dengan melakukan pembaruan-pembaruan hukum untuk melindungi hak perempuan. Namun, upaya ini tidak disertai kampanye yang cukup kuat untuk mengubah kondisi di domain privat. Dampaknya adalah beban ganda bagi perempuan kelas menengah dan tingkat kekerasan terhadap perempuan yang tetap tinggi, di samping tidak banyak perubahan kondisi hidup bagi perempuan pekerja dan miskin. 

Agenda politik yang lebih banyak memfokus pada kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki di bawah sistem ekonomi liberal-kapitalis nyatanya tidak dapat menjangkau kepentingan kelompok miskin dan mereka yang terpinggirkan.

Beyonce: Feminisme menjadi Mainstream

Meski adanya berbagai isu di atas, keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai feminisme liberal telah membawa feminisme dari sebuah demonstrasi di jalanan menjadi isu yang disorot media secara luas, hingga memasuki ruang privat rumah tangga-rumah tangga masyarakat Amerika. Dapat dikatakan, istilah feminisme mulai memasuki mainstream masyarakat Amerika. 

Bukan saja tokoh politik perempuan seperti Hillary Clinton yang mengaku sebagai feminis, ikon-ikon perempuan, seperti bintang film atau penyanyi–dengan interpretasinya terhadap feminisme–kini menyebut dirinya sebagai feminis. Hal yang telah menyulut kontroversi belum lama ini adalah pengakuan bintang pop kulit hitam, Beyonce, bahwa dirinya adalah seorang feminis. 

Seksualitas dan kekuasaan menjadi isu yang ramai diperbincangkan di media setelah Beyonce berdiri di atas panggung menampilkan bayangan lekuk tubuhnya dengan tulisan FEMINIST sebagai latar belakang. “Apakah mempertontonkan tubuh dengan pakaian yang minim dan gerakan sensual merupakan hal yang feminis?” “Tetapi, Beyonce memilki kendali atas tubuhnya sendiri dan, bagai seorang dewi, dia mencitrakan keberdayaaan seorang perempuan.” “Apa iya Beyonce patut disebut feminis?” “Apakah aksi di panggung tersebut hanyalah strategi marketing?” Begitu kira-kira tanggapan yang muncul di berbagai media. 
Kecantikan, keelokan tubuh, dan kekayaan menjadi sumber keberdayaan—hal yang sebenarnya pertama kali dilawan oleh feminisme sebagai gerakan (Foto Beyonce: www.eurweb.com)

Memang harus diakui, tidak ada definisi tunggal terhadap feminisme. Oleh karena itu, menarik untuk mengamati bahwa (re)interpetasi berbagai ikon perempuan Amerika terhadap feminisme liberal tampaknya memberi pembenaran terhadap objektivikasi tubuh perempuan. Kecantikan tubuh menjadi bagian dari identitas perempuan yang berdaya. Kecantikan, keelokan tubuh, dan kekayaan menjadi sumber keberdayaan—hal yang sebenarnya pertama kali dilawan oleh feminisme sebagai gerakan. 

Unjuk kecantikan tubuh yang diterjemahkan sebagai kekuatan, keberdayaan, dan kendali memang mengundang banyak kontroversi karena apa yang didefiniskan sebagai cantik selama ini masih banyak ditentukan oleh persepsi laki-laki. Apakah penghargaan dan sanjungan yang sama akan diperoleh bila aksi panggung tersebut dilakukan oleh seorang perempuan yang dipandang gemuk dan tidak ‘cantik’?

Di luar masalah penampilan fisik, sejalan dengan pandangan liberalisme, gagasan yang berkembang tentang pemberdayaan dan kesetaraan perempuan tampaknya sangat menekankan pada elemen individu sebagai agen perubahan. Walaupun hal ini sangat baik, ia mengalihkan perhatian dari faktor-faktor signifikan lainnya terkait struktur masyarakat dan sistem ekonomi yang menghalangi kemajuan perempuan. Pesan para artis yang mewacanakan bahwa dengan motivasi dan usaha seseorang bisa berhasil menggapai impiannya, sayangnya bisa menyesatkan. 

Meski ada saja kasus khusus, pada umumnya perjuangan individual akan lebih mudah dicapai oleh mereka yang berasal dari latar belakang sosial-ekonomi yang membuka peluang dan memudahkan akses terhadap modal sosial dan kapital. Berarti, perjuangan individual tersebut akan lebih mungkin dimenangkan oleh mereka yang memiliki akses tadi dan oleh karena itu, perjuangan semacam ini sebenarnya merupakan impian yang mengeksklusikan sebagian besar masyarakat, seperti kaum perempuan pekerja dan miskin. Masyarakat jadi lebih menyukai cerita perjuangan ‘from rags to riches’ daripada memikirkan sebuah perjuangan kolektif untuk mengubah sistem yang ada.

Tuntutan Generasi Milenium

Tak bisa dipungkiri, Beyonce adalah inspirasi bagi generasi perempuan muda, terutama bagi perempuan nonkulit putih, mengingat perjuangannya untuk mencapai kesuksesan dalam industri musik Amerika yang masih seksis dan rasis. Namun, di tengah-tengah berkembangnya wacana feminisme liberal yang disebarkan ikon-ikon pop kepada kaum muda melalui TV dan media sosial, secara bersamaan terdapat kelompok generasi milenium Amerika yang melihat pemberdayaan perempuan dengan lebih kritis. 

Mereka tampaknya meyakini sebuah feminisme dengan perspektif yang lebih peka terhadap pentingnya pluralisme serta menyadari bahwa ketidakadilan sosial di bawah demokrasi-liberal selama ini telah menciptakan kesenjangan di pelbagai bidang kehidupan.

Kembali kepada Hillary Clinton, oleh kaum liberal, Clinton malah disebut neokonservatif karena kebijakan-kebijakannya tidak secara konsisten memperjuangkan keadilan gender. Pandangan ini muncul kuat meski Clinton mengklaim bahwa kebijakan-kebijakannya pada masa ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri AS merupakan kebijakan feminis. 

Meski Clinton sepertinya telah berhasil membawa feminisme ke dalam mainstream politik Amerika, sebagian perempuan muda Amerika tetap menilai bahwa bila Clinton menjabat sebagai presiden, pendekatan-pendekatannya akan cenderung konservatif. Mereka tidak percaya bahwa Clinton akan bisa membawa perubahan-perubahan yang mereka inginkan. Mungkin ini karena terdapat generasi muda Amerika yang telah memahami feminisme secara berbeda, melampaui gagasan-gagasan yang dikembangkan feminisme liberal, apalagi wacana mainstream tentang feminisme. 

Kelompok muda tersebutlah yang menginginkan sebuah pendekatan lebih radikal daripada yang ditawarkan oleh Clinton. Namun, yang merupakan pertanyaan penting–bagaimana generasi milenium ini akan menempatkan pendekatan yang lebih radikal tersebut di dalam konteks politik dan ekonomi AS? Sejarah akan menjadi saksi….

Sumber

Alter, Charlotte (2015) ‘Meet the Women Who Say There’s a Better Feminist in the Race Than Hillary Clinton.’ Time [dalam jaringan] <http://time.com/4107286/hillary-clinton-bernie-sanders-women-new-hampshire-2016/> [28 November 2015].

Asaro, Andrea (1983) ‘The Public Private Distinction in American Liberal Thought: Unger’s Critique and Synthesis.’ American Journal of Jurisprudence Vol. 28 (1), Article 6 [dalam jaringan] <http://scholarship.law.nd.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1317&context=ajj> [28 November 2015].

Bunting, Madeleine (2011) Clinton is Proving that a Feminist Foreign Policy is Possible–and Works [dalam jaringan] <http://www.theguardian.com/commentisfree/cifamerica/2011/jan/16/hillary-clinton-feminist-foreign-policy> [28 November 2015].

Crocer, Lizzie (2015) ‘Why Millennial Feminists Don’t Like Hillary.’ The Daily Beast [dalam jaringan] <http://www.thedailybeast.com/articles/2015/10/05/why-millennial-feminists-don-t-like-hillary.html> [28 November 2015].

Higgins, Tracy E. (2004) ‘Gender, Why Feminists Can’t (or Shouldn’t be) Liberals’. Fordham Law Review Vol. 72 (5), Article 12 <http://ir.lawnet.fordham.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=3966&context=flr> [28 November 2015].

Hobson, Janell (2015) ‘Beyonce’s Fierce Feminism.’ Ms.blog Magazine <http://msmagazine.com/blog/2015/03/07/beyonces-fierce-feminism/> [10 Desember 2015].

Hubbard, Adrienne (2015) ‘The Oxymoron that is Corporate Feminism.’ That Opinion [dalam jaringan] <http://thatopinion.com/corporate-feminism/> [10 Desember 2015].

Kearly, Kendyl (2015) 7 Feminist Aspects of Hillary Clintons Economic Plan that Would Change Everything for Women in America [dalam jaringan] <http://www.bustle.com/articles/96809-7-feminist-aspects-of-hillary-clintons-economic-plan-that-would-change-everything-for-women-in-america> [28 November 2015].

Mirhashem, Molly (2015) ‘What Young Feminists Think of Hillary Clinton.’ National Journal [dalam jaringan] <http://www.nationaljournal.com/s/27066/what-young-feminists-think-hillary-clinton> [28 November 2015].

The Guardian (2015) Hillary Clinton Likens GOP Candidates to Terrorists for 'Extreme' Views on Women [dalam jaringan] <http://www.theguardian.com/us-news/2015/aug/27/hillary-clinton-republicans-terrorists-women> [28 November 2015].

Tucker, Ken (2015) Hillary on 'Colbert': Talking 'House of Cards' Murders and Letting Banks Fail [dalam jaringan] <https://www.yahoo.com/tv/hillary-clinton-colbert-trump-111536246.html> [29 Oktober 2015].

Vagianos, Alanna (2015) ‘Why Beyoncé's Latest ‘Feminist’ Move Was So Problematic.’ Huffpost Women [dalam jaringan] <http://www.huffingtonpost.com/entry/why-beyonces-latest-feminist-move-was-so-problematic_55eee575e4b093be51bc05aa> [10 Desember 2015].

Vidal, Ava (2014) Intersectional Feminism: What the Hell is it and Why You Should Care [dalam jaringan] http://www.telegraph.co.uk/women/womens-life/10572435/Intersectional-feminism.-What-the-hell-is-it-And-why-you-should-care.html [28 November 2015].

Worker’s Liberty (2011) Liberal Feminism: The Individual is Key [dalam jaringan] <http://www.workersliberty.org/story/2011/11/24/liberal-feminism-individual-key> [8 Desember 2015].

Young, Kevin and Diana C. Sierra Becerra (2015) ‘Hillary Clinton and Corporate Feminism.’ Solidarity [dalam jaringan] <http://www.solidarity-us.org/node/4390> [28 November 2015].

Sunday, October 18, 2015

HARI YANG INDAH UNTUK SEBUAH REVOLUSI: Sekilas tentang Anarkisme, Anarko-feminisme, dan Feminisme Radikal



Pada 11 November 1887 di sebuah kota di Amerika Serikat, empat orang pria berlangkah lambat di bawah kebisuan langit malam. Hanya suara mereka yang melantunkan lagu kebangsaan Perancis…lagu yang menjadi simbol revolusi masa itu…yang mengusik kesunyian malam. Mereka terus berjalan sambil bernyanyi, mengangkat kaki langkah demi langkah, menelusuri jalan menuju tiang gantungan. Sesampainya di tempat di mana mereka akan dieksekusi, masyarakat sudah menunggu untuk menyaksikan hukuman mati yang mungkin paling bersejarah sepanjang abad itu.


It’s a nice day for a revolution…slogan inilah yang kemudian diusung kaum anarkis abad 21 ketika mereka turun ke jalan, memenuhi jalan-jalan raya, memakai topeng pria tersenyum lebar dengan kumis tipis panjang. Topeng Guy Fawkes yang ditampilkan dalam komik V for Vendetta menjadi identitas global gerakan anarkisme internasional.

Anarkisme merupakan filsafat politik yang menentang otoritas, hierarki, dan kapitalisme, serta yang ingin mencapai sebuah masyarakat bebas (free society) dan dunia tanpa negara (stateless society). Filsafat anarkis ini dapat ditemukan asal-usulnya dari filsafat Taoisme dan ada yang berpendapat bahwa gagasan-gagasan anarkis juga ditemukan dalam sejarah berberapa agama besar. Beberapa pemikir yang dihubungkan dengan filsafat anarkisme adalah Pierre-Joseph Proudhon, Mikhail Bakunin, William Godwin, dan Peter Kropotkin.

spacesofhope.org
Salah satu peristiwa bersejarah yang terkait erat dengan gerakan anarkisme adalah Kerusuhan Haymarket yang terjadi pada 4 Mei malam hari di kota Chicago, Amerika Serikat pada  tahun 1886, ketika kaum buruh melakukan unjuk rasa untuk mengangkat isu peraturan 8 jam kerja yang belum diimplementasikan. Unjuk rasa ini awalnya berlangsung damai di bawah rintik-rintik hujan meski dipenuhi oleh orasi yang berapi-api. Tak disangka bahwa dalam  sekejap semuanya dapat berubah menjadi kaos di kegelapan malam ketika seseorang tak dikenal melemparkan bom-dinamit rakitan terhadap seorang polisi yang sedang menghampiri massa.  Pada 11 November tahun berikutnya, setelah sebuah pengadilan rekayasa digulirkan, empat anarkis dihukum mati—meski tanpa bukti kuat. Vonis yang kontroversial ini menandai salah satu masa paling kelam dalam sejarah pengadilan Amerika Serikat. Tak diduga, peristiwa ini memiliki dampak internasional yang amat besar. Hari Buruh Sedunia 1 Mei atau yang dikenal sebagai May Day merupakan peringatan atas perjuangan memperoleh 8 jam kerja dan Kerusuhan Haymarket serta rangkaian peristiwa terkait yang mengorbankan nyawa para martir anarkis Amerika.


Perlawanan terhadap Negara/Patriarkat

Hukuman mati terhadap para anarkis pada 1887 ini membuka mata dan mengobarkan semangat aktivisme para anarkis lainnya, termasuk kaum anarkis perempuan—seperti Emma Goldman dan Voltairine de Cleyre—yang kemudian mengembangkan anarkisme yang melihat perempuan sebagai kelompok tertindas. Mereka tidak saja memasukkan kebebasan dan kesetaraan kaum perempuan ke dalam agenda anarkisme, mereka juga mengkritik kaum anarkis laki-laki yang dalam kehidupan pribadinya tidak memperlakukan perempuan dengan adil. Kaum anarkis perempuan menegakkan “the personal is political” di dalam pemikiran dan praktik anarkisme.

Goldman merupakan sosok anarkis yang sangat terkenal dan kerap disebut sebagai pendiri feminisme anarkis atau yang disebut juga anarko-feminisme. Aliran ini melihat bahwa perlawanan terhadap sistem patriarkat bukan saja sebagai perlawanan terhadap seksisme, melainkan juga merupakan bagian dari perjuangan kelas serta perjuangan melawan rasisme dan menghapuskan negara. Goldman juga merupakan anarkis pertama yang mendukung pengakuan terhadap homoseksualitas, gagasan yang turut mendukung berkembangnya gerakan queer anarchism. Goldman mengelola jurnal Mother Earth (1906–1917) yang merupakan corong bagi pemikiran-pemikiran anarkis masa itu dan menulis buku Anarchism and Other Essays (1910).

Kekuasaan dan negara merupakan isu sentral bagi kaum anarkis, termasuk kaum anarko-feminis. Paradigma ini mirip dengan pandangan aliran feminisme radikal yang melihat baik kekuasaan maupun kekuasaan negara sebagai sumber opresi perempuan. Keduanya melihat negara sebagai manifestasi dari kekuasaan, namun bagi feminisme radikal hal ini lebih dijelaskan lagi sebagai manifestasi kekuasaan patriarkat. Bagi feminisme radikal, negara dan partriarkat merupakan dua sisi dari mata uang logam yang sama. Feminisme radikal dan anarko-feminisme menanggap bahwa patriarkat diinstitusionalisasikan melalui negara; artinya menghancurkan negara sama dengan menghancurkan patriarkat, melawan negara berarti melawan sistem patriarkat.

Kebebasan manusia merupakan isu sentral lainnya dalam anarkisme yang mencakup kebebasan individual, kebebasan dari kekerasaan, penindasan, dan keterpaksaan–isu-isu yang juga mengambil perhatian feminisme radikal.

Dalam utopianisme kaum anarkis secara umum, setelah negara berhasil dihapuskan, tidak akan muncul sebuah kelompok elit baru yang berkuasa. Dalam hal ini, anarkisme memiliki titik temu dengan feminisme radikal karena keduanya memandang bahwa sosialisme dan Marxisme akan menciptakan bentuk otoritas baru dan komunisme yang dipaksakan. Namun, ada perbedaan yang cukup mendasar, yakni untuk mencapai tujuannya, kaum anarkis tidak akan bekerja sama dengan negara, sementara sebagian feminis radikal dalam batas-batas tertentu menggunakan negara sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Karena sikap anarkisme yang anti-advokasi, menolak melobi, bernegosiasi, dan bekerja sama dengan pihak negara, maka ia menentang gerakan feminisme liberal yang strateginya berfokus pada hal-hal ini. Goldman dan De Cleyre jelas-jelas menunjukkan sikap mereka yang mendukung kesetaraan jenis kelamin, tetapi menentang gerakan kaum suffragist yang mengadvokasi hak pilih kaum perempuan. 

anonymousartofrevolution.com
Meski secara umum dikenal dua aliran utama dalam anarkisme, yakni anarkisme individualis dan anarkisme sosial, anarkisme sebenarnya terdiri dari berbagai aliran dengan beberapa tujuan dan strategi yang berbeda. Persamaan yang dimiliki antara berbagai aliran ini adalah sikap yang antiotoritas dan antinegara serta menjunjung tinggi kebebasan individual dan kooperasi. Persamaan lainnya adalah strategi yang menggunakan aksi langsung dengan pengembangan gerakan yang nonhierarki dan menjangkau akar rumput, seperti kaum pekerja dan petani. Visi masyarakat yang mereka anut adalah masyarakat yang bebas, egaliter, dan tanpa negara. Beragam aliran yang ada juga mendukung sistem perekonomian yang berbeda, seperti sistem yang ingin membangun perbankan alternatif atau sistem ekonomi yang partispatoris, dan yang ingin menghapus kepemilikan pribadi. Asas sukarela dan kebebasan berorganisasi dan berkreasi serta kontrol masyarakat terhadap institusi ekonomi yang terdesentralisasi merupakan ciri-ciri utama sistem ekonomi anarkis.

Dalam perkembangannya, anarkisme kerap dilekatkan pada isme-isme lain seperti komunisme, libertarianisme, dan feminisme. Hal ini melahirkan gerakan anarkisme tanpa adjektiva. De Cleyre, yang menulis esai Sex Slavery  (1895) dan They Who Marry Do Ill (1907)—karya-karya yang merupakan kritik keras terhadap institusi perkawinan dan relasi gender—terkenal sebagai pendukung anarkisme tanpa adjektiva. Ia menyebut dirinya sebagai penganut anarkisme semata.


Isu-isu dalam Anarkisme Kontemporer

Dalam sejarah, praksis anarkisme ditemukan dalam masyarakat-masyarakat seperti the Paris Commune pada 1871 dan beberapa daerah di Spanyol ketika Revolusi Spanyol pada 1936.  Di luar Amerika dan Eropa, gerakan-gerakan anarkisme juga berkembang, seperti di Afrika. Di beberapa negara Asia pada abad 19 dan 20, seperti di Jepang, Korea, Cina, dan Vietnam terdapat gerakan-gerakan anarkisme yang akhirnya ditumpaskan oleh pemerintah.

Dalam perkembangan anarkisme, kekerasan merupakan metode yang dikenal digunakan para anarkis sebagai strategi untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Namun, setelah Perang Dunia Kedua, strategi ini cenderung ditinggalkan. Isu-isu seputar strategi masih menjadi perdebatan dalam anarkisme kontemporer.

Salah satu kritik utama terhadap anarkisme adalah adanya kesenjangan antara pemikiran dan strategi. Strategi memang merupakan perdebatan di dalam kubu anarkisme sendiri. Ada yang menganggap anarkisme kini lebih bergelut pada gaya hidup dan pilihan hidup yang tidak mau terlibat dengan institusi-institusi negara sehingga strategi-strategi politik untuk mencapai tujuan gerakan tidak berkembang. Salah satu perdebatan adalah keikutsertaan anarkis dalam pemilihan wakil-wakil negara. Mereka yang ingin setia pada anarkisme menganggap keterlibatan dalam kegiatan politik negara adalah pengingkaran terhadap politik anarkisme, sedangkan sebagian lain menganggap hal ini sebagai taktik politik. Selain itu, muncul kritik bahwa anarkisme yang berkembang saat ini mengabaikan negara sebagai musuh yang harus dilumpuhkan dan hanya berfokus pada capaian-capaian jangka pendek.

Pada tahun 1980-an, terutama di beberapa negara Barat, anarkisme menjadi bagian dari budaya pop, seni, dan musik punk, serta menjadi gaya hidup yang menentang pemerintah dan kapitalisme. Di Indonesia, pada akhir 1990-an punk kerap dikaitkan dengan gerakan anarkisme. Sebagai aktivisme politik, beberapa sumber media mengatakan bahwa di Indonesia dapat ditemui jejaring-jejaring anarkisme baik dalam negeri maupun yang berskala internasional.

Diskusi-diskusi yang selanjutnya berkembang mengenai anarkisme berkisar pada posanarkisme atau anarkisme modern yang menekankan pada pluralitas dan mengkritik eurosentrisme yang selama ini menyokong anarkisme. Anarkisme juga telah berkembang menjadi berbagai filsafat dan gerakan baru, seperti green anarchism  (eco-anarchism) yang berfokus pada isu lingkungan, anarcho-pacifism yang menentang penggunaan kekerasan dalam upaya pencapaian perubahan sosial, dan post-left wing anarchism yang membangun kritik terhadap hubungan anarkisme dengan politik sayap kiri.


‘Revolusi’ sebagai Praksis

fromupnorth.com
Meski ada beberapa filsafat yang mendasari anarkisme, tetapi pada prinsipnya anarkisme antiteori besar dan antidoktrin sehingga tidak memiliki konsep dan strategi yang lebih sistematis untuk mendorong sebuah revolusi. Ketika turun ke jalan pun, para anarkis sejati tidak menyampaikan tuntutan apa pun kepada negara karena menuntut berarti sama saja bersedia bernegosiasi dengan negara.

Namun, sebagian anarkis melihat anarkisme sebagai bagian dari praktik kehidupan sehari-hari dan bahwa melalui perlawanan atau rebellion, dapat dicapai revolusi-revolusi kecil yang mengarah pada kemajuan gerakan. Melalui counter-culture, pengembangan institusi alternatif, dan penjangkauan kepada masyarakat akar rumput, diasumsuikan anarkisme akan berkembang menjadi bagian dari kehidupan dan praksis politik sehari-hari individu. Asumsi ini, yang terutama dianut oleh kaum anarkis individualis, menunjukkan sisi reformis dari anarkisme. Bagi kaum feminis radikal dan juga para anarko-feminis, agenda para anarkis ini akan menguatkan upaya untuk melenyapkan opresi berbasis kekuasaan gender dan praktik-praktik seksual masyarakat yang opresif…. Memang hari yang indah untuk sebuah revolusi (seksual).


.
Referensi

Anarchist Writers (2008) A.3 What types of anarchism are there? [dalam jaringan]  <http://anarchism.pageabode.com/afaq/secA3.html> [30 Agustus 2015].



Berger, Dominic (2013) Indonesia’s new anarchists.’ Inside Indonesia 113: Jul–Sep 2013 [dalam jaringan]  <http://www.insideindonesia.org/indonesia-s-new-anarchists> [30 Agustus 2015].


Campbell, Michelle M. (2013) ‘Voltairine de Cleyre and the Anarchist.’ Blasting the Canon Anarchist Developments in Cultural Studies [dalam jaringan] <http://anarchist-developments.org/index.php/adcs_journal/article/view/56/59> [31 Agustus 2015].


Ehrlich, Howard J. (1994) Toward a General Theory of Anarchafeminism.’  Social Anarchism No. 19 [dalam jaringan] <http://library.nothingness.org/articles/SA/en/display/358> [30 Agustus 2015].


Evern, Surëyyya  (2006) Postanarchism and the ’3rd world’ [dalam jaringan] <http://theanarchistlibrary.org/library/sureyyya-evren-postanarchism-and-the-3rd-world> [19 September 2015].

Gemie, Sharif (1996) ‘Anarchism and Feminism: A Historical Survey.’ Women's
History Review 5:3, 417-444 [dalam jaringan] <http://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/09612029600200123> [30 Agustus 2015].

Kerl, Eric  (2010) ‘Contemporary Anarchism.’ International Socialist Review Issue 72 [dalam jaringan] <http://isreview.org/issue/72/contemporary-anarchism> [19 September 2015].

Maddock, Kenneth (1996) ‘Pluralism and Anarchism.’ Red and Black No. 2 [dalam jaringan] <http://theanarchistlibrary.org/library/kenneth-maddock-pluralism-and-anarchism> [19 September 2015].

Maiguashca, Bice (2014) ‘‘They’re Talkin’ Bout a Revolution’: Feminism, Anarchism and the Politics of Social Change in the Global Justice Movement.’ Feminist Review [dalam jaringan] <Feminist Review (2014) 106, 78–94. doi:10.1057/fr.2013.36‘they’re talkin’ bout a revolution’: feminism, anarchism and the politics of social change in the global justice movementBice Maiguashca> [30 Agustus 2015].

Presley, Sharon (2000) ‘No Authority But Oneself: The Anarchist Feminist Philosophy of Autonomy and Freedom.’ Social Anarchism No. 27 [dalam jaringan] <http://library.nothingness.org/articles/SI/fr/display/338> [16 Agustus 2015]. 



 

Sumber Lainnya:

Anarchism, Wikipedia
Anarchist Economics, Wikipedia
Haymarket Affair, Wikipedia