Sunday, August 28, 2016

KOPI DAN PERUBAHAN SOSIAL: Bacaan bagi Para Penikmat Kopi



 
Denis Evtikhiev

[Coffee and Social Change]

Bagi banyak orang minum kopi adalah hal yang biasa, bahkan bagi masyarakat perkotaan minum kopi dalam suasana khas coffee shop menjadi bagian dari gaya hidup. Namun, tahukah Anda bahwa di balik kesederhanaan maupun kemewahannya, kopi merupakan minuman yang sarat dengan sejarah? Kedai-kedai kopi dahulu menjadi tempat berkumpul kaum free thinkers untuk berdiskusi dan bertukar pikiran. Kopi pun pernah dilarang oleh penguasa dan diprotes perempuan. Minuman ini punya cerita yang terkait erat dengan sejarah emansipasi perempuan dan hingga saat ini kopi menjadi tanaman yang memberdayakan petani perempuan. Kalau kita bercerita tentang sejarah kopi, kita bercerita tentang perubahan.





Charles-Joseph-Frédéric Soulacroix (1825-1879)


 
Membuka Ruang Dialog dan Spiritual
Tanaman kopi ini diketahui berasal dari Ethiopia. Namun, kopi kemudian dibudidayakan di Yemen dan di sini metode-metode menyeduh kopi berkembang. Konon kopi yang diketahui bisa menahan kantuk ini menemani kaum Muslim dalam ibadah malam hari. Pada pertengahan abad 15 kopi sudah dapat ditelusuri sebagai minuman yang disajikan ketika para lelaki berkumpul bersama dan berdialog tentang agama. Minum kopi menjadi pengalaman sosial sekaligus spiritual. 

Kedai-kedai kopi kemudian menjamur di daerah-daerah yang bertetangga dengan Yemen. Kopi menjadi identik dengan Islam dan praktik ibadah kaum Muslim. Minuman ini mudah diakses baik oleh kaum miskin dan kaya karena tidak mahal. Menurut kisah, hanya di kedai-kedai kopilah laki-laki dari kelas sosial yang berbeda bertemu dan berinteraksi. Kedai kopi menjadi ruang berdialog dan berwacana bagi kaum laki-laki.

Kopi dan Kekuasaan
Karena kopi orang-orang berkumpul bersama dan berdiskusi, maka tidak lama kemudian kopi menjadi minuman yang meresahkan penguasa. Betapa tidak, kalau warga setiap hari berkumpul dan membicarakan masalah keseharian, bukannya tidak mungkin muncul kesadaran politik untuk melawan penguasa yang zalim? Oleh karena itu, dalam sejarah, sudah berapa kali keluar larangan atas kopi. Pada 1511 di Mecca pernah ada fatwa yang melarang kopi karena efeknya yang dianggap tidak baik. Selanjutnya, pada 1534 upaya mengharamkan kopi di Cairo gagal karena disambut oleh kerusuhan. Murad IV, Sultan Turki Utsmani pada abad 17 juga tidak bisa melawan kehendak rakyat meski ia memberikan hukuman fisik hingga mati terhadap para penikmat kopi. 

Hal serupa pun terjadi pada masa kepemimpinan Raja Charles II di Inggris yang sekitar pertengahan abad 17 menutup semua kedai kopi di Inggris karena mencemaskan kekuasaannya. Apa boleh buat, protes keras melanda negeri itu, kekuatan rakyat (laki-laki) tidak bisa dibendung lagi dan akhirnya setelah 11 hari saja kebijakan tersebut terpaksa dicabut. Larangan atas kopi juga terjadi di Prussia dan Swedia pada abad ke 18.

Pada abad 17 kopi masih menjadi monopoli negara-negara Arab dan Afrika. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencuri dan menyelundupkan biji kopi ke benua lain. Para penguasa Belanda di Asia merupakan salah satu dari mereka yang berhasil mematahkan monopoli tersebut dengan kesuksesan mereka menanam biji kopi “Java” pertama di Batavia, yang hasilnya dijadikan hadiah mewah bagi para raja-raja Eropa, seperti Raja Louis XIV. Hingga abad berikutnya, kopi merupakan tanaman yang diperebutkan karena prospek ekonominya. Munculnya negara raja-raja kopi baru pada wilayah-wilayah baru sepanjang sejarah, mengubah peta perpolitikan dan perdagangan, serta tatanan perekonomian.

Perempuan hanya boleh menjadi pelayan di kedai kopi (Jan Troost)


Demokrasi dan Eksklusi Gender
Minuman beraroma unik ini yang sebelum “dibaptis” dijuluki minuman setan oleh para rohaniawan Venesia, menjadi kian populer di Eropa seiring munculnya kedai-kedai kopi di negeri itu pada paruh kedua abad 17. Seperti di negeri Arab, kedai-kedai kopi menjadi tempat berkumpul dan bertukar pikiran bagi para laki-laki yang pada zaman itu lebih memiliki kebebasan untuk keluar rumah. Salah satu laki-laki yang senang berkumpul di kedai kopi pertama dan kini tertua di Paris, Café Procope, adalah filsuf terkenal, Voltaire.   

Pada 1650-an, kedai kopi yang marak menghiasi kota-kota di Inggris tampak menjadi ruang di mana demokrasi dan kesetaraan dipraktikkan. Para laki-laki dari berbagai kelompok sosial–mahasiswa, pedagang, dan kaum elit–menghabiskan waktunya di kedai kopi untuk berbincang dan berdiskusi dengan etis. Ini terjadi mengikuti dibukanya kedai kopi pertama, The Oxford Coffee house dekat Universitas Oxford, di mana kaum pria intelektual muda berdiskusi dan berdebat tentang teori baru dan ide-ide inovatif. 

Sayangnya semangat demokrasi dan prinsip egaliter ini mengeksklusikan kaum perempuan. Mereka dilarang menjadi pengunjung karena kedai kopi dianggap bukanlah tempat yang pantas bagi perempuan terhormat. Perempuan hadir di kedai kopi pada masa itu hanya sebagai pelayan atau kasir. 

Menarik sekali bahwa pada 1675 para istri di London mengeluarkan petisi yang memprotes kopi. Bayangkan, alih-alih pulang ke rumah setelah seharian bekerja, para suami malah nongkrong dan bercakap-cakap semalaman di sebuah kedai kopi, sedangkan istri tinggal di rumah dan memikul tugas-tugas rumah tangga! Tidak adil, bukan? Namun, ternyata bukan hal ini yang dipersoalkan dalam “The Women’s Petition against Coffee”. Para istri penandatangan petisi menganggap kopi itu harus dilarang karena membuat para lelaki menjadi malas, kurang bergairah di ranjang, dan impoten! Petisi ini pun sempat dibalas oleh para suami. Dapat dikatakan kopi telah mengawali “the battle of the sexes” dalam sejarah dan mendorong bersatunya kaum perempuan sebagai kelompok sosial. 

 
Pertemuan suffragist di Peg Woffington Coffee House di kota New York (Wikimedia)



Suffragettes dan Flappers
Selanjutnya, ketika gerakan suffragist yang memperjuangkan hak suara perempuan dalam pemilu di Inggris ingin mengadakan pertemuan, mereka hanya bisa mengadakannya di tea room yang mulai popular pada abad 19 dan yang lebih bersahabat kepada perempuan. Sementara itu, pada 1915 kaum suffragist Amerika Serikat sudah dapat mengadakan pertemuan di kedai-kedai kopi, salah satu yang terkenal adalah pertemuan mereka untuk membicarakan strategi gerakan di Peg Woffington Coffee House di kota New York pada 31 Maret 1915.

Era 1920-an tampak lebih baik terhadap perempuan di AS.  Pada era ini perempuan sudah diperbolehkan berkunjung ke kedai kopi dan menikmati dunia malam. Para trendsetter perempuan yang dijuluki para “flappers” merupakan ikon era ini di AS. Mereka tampil dengan topi khas yang menutupi kuping dan rambut pendek gaya bob serta baju terusan lebar tanpa korset yang memudahkan mereka untuk bergerak dari satu café ke café yang lain. Di situ mereka berdansa Charleston, bercengkerama dengan kawan perempuan dan laki-laki yang menjadi kencannya, sambil merokok serta menikmati kopi yang disajikan secara istimewa.

Fenomena Flappers bukan sekadar sebuah fashion statement, tetapi merupakan fenomena sosial yang muncul sebagai dampak perang. Karena penduduk laki-laki menjadi berkurang, perempuan tidak langsung mencari suami, tetapi sekolah lagi atau bekerja. Lebih dari itu, lahirnya flappers sebelum Amerika memasuki era depresi ekonomi merupakan sebuah revolusi seksual sesaat, di mana kaum perempuan muda AS menolak norma-norma tradisional dan ingin menjalani kehidupan yang bebas dan hedonistik.

"Flappers" (www.pinterest.com)


Minuman Para Free Thinkers
Inovasi-inovasi dalam penyeduhan dan pembuatan kopi sepanjang abad 19 dan 20, seperti diciptakannya mesin espresso, terjadi seiring tumbuhnya kelompok-kelompok sosial baru dari generasi muda kelas menengah. Kondisi ini mendorong berkembangnya kedai-kedai kopi dengan suasana dan sajian jenis kopi yang bisa memenuhi gaya hidup para free thinkers yang kritis terhadap pemerintahan dan senang berkumpul sambil berpikir yang berat-berat. 

Pada 1950-an di AS dan Eropa Barat, tumbuh generasi yang menjadi cikal bakal perubahan kultural era 1960-an yang salah satunya melahirkan gerakan perempuan. Pada era ini juga muncul gerakan antiperang yang mengecam perang Vietnam. Para tentara muda AS membuka kedai-kedai kopi antiperang di dekat pos militer pada akhir era ini, yang dikenal dengan sebutan GI coffeehouses. Kedai kopi tersebut merupakan tempat untuk para tentara berkumpul, berdiskusi, mendengarkan musik, serta merencanakan aksi-aksi protes terhadap perang.  

Pendirian GI coffeehouses didukung oleh gerakan mahasiswa dan gerakan feminis yang tumbuh pada era 196070-an. Kaum feminis dan LGBTQ pun memiliki beberapa kedai kopi sebagai tempat mereka berkumpul dan berdiskusi. Era ini juga ditandai oleh kampanye gerakan feminis untuk memengaruhi nilai-nilai tentang peran perempuan di bidang publik sehingga turut mendorong dibukanya sektor kerja bagi kaum perempuan di AS.

Rachel Deacon



Kopi dan Pemberdayaan Perempuan
Ketika perempuan memenuhi sektor kerja formal AS ternyata pekerjaan yang tersedia bagi mereka merupakan perpanjangan dari peran domestik mereka di rumah dan jenis pekerjaan yang berada pada posisi bawah hirarki perusahaan. Kalau mereka membuat kopi untuk suami di rumah, maka mereka membuatnya di kantor untuk atasan-atasan mereka yang umumnya laki-laki. Selain itu, tenaga kerja perempuan terserap pada bidang-bidang pelayanan sesuai dengan stereotip peran perempuan–menawarkan kopi atau teh dengan wajah manis. Kenyataan ini menuai kritik pedas dari gerakan feminis AS dan hingga kini isu perempuan dan kerja menjadi isu sentral dalam perjuangan kaum feminis, bukan hanya di AS.

Inovasi berupa diciptakannya drip coffee maker di AS pada 1972 membuat kopi lebih praktis dan mudah untuk disajikan, baik di rumah maupun di kantor. Mesin kopi ini bersama alat-alat hasil inovasi lainnya (seperti mesin cuci pakaian dan piring) yang membuat kerja rumah tangga lebih mudah dan efisien menjadi idaman para ibu rumah tangga kelas menengah perkotaan AS. Inovasi teknologi tersebut mendukung perempuan untuk beraktivitas di luar rumah karena mengurangi waktu yang dihabiskan untuk pekerjaan rumah tangga. Sayangnya, ia tidak dibarengi dengan inovasi pada perubahan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Alat-alat tersebut tetap dilekatkan pada peran domestik perempuan. 

Bagaimana dengan perempuan perdesaan, khususnya mereka yang menghasilkan kopi yang tinggal kita nikmati? Para perempuan di negara-negara penghasil kopi seperti di Peru, Meksiko, Nicaragua, dan juga Indonesia hidup termarginalisasi. Sebagai upaya untuk meningkatkan kehidupan perempuan miskin di milenium ini, perempuan-perempuan di berbagai negara penghasil kopi dibangun kapasitasnya dalam bertani dan menjual kopi untuk memperbaiki kehidupan ekonomi mereka, di samping untuk membangun kepemimpinan dan kemandirian mereka. Pemberdayaan perempuan petani ini diharapkan akan mengubah pola relasi gender yang timpang di komunitas mereka.  Sebanyak 470 perempuan petani kopi Indonesia menjadi anggota Koperasi Kopi Wanita Gayo (KKWG), organisasi kopi petani perempuan pertama di Asia Tenggara yang didirikan pada 2014.
Charles Kaufman
Bukan main panjang perjalanan sejarah manusia yang telah diiringi oleh kopi. Hingga kini pun kedai kopi masih dimanfaatkan sebagai ruang untuk bertukar pikiran dan menggagas hal-hal baru. Di Jakarta pun sejak beberapa tahun terakhir, gerakan perempuan bersama gerakan sosial-politik lainnya juga memanfaatkan kedai kopi sebagai tempat berkumpul dan berdiskusi. Salah satu contohnya adalah pertemuan rutin yang diadakan di kedai kopi Tjikini 17, di mana para aktivis dan masyarakat bertemu dan membicarakan isu-isu gender, di samping mengumpulkan dana bagi upaya-upaya untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan.

Mari berkumpul dan minum kopi bersama serta membuat perubahan!


Sumber

Cole, Adam (2012) ‘Drink Coffee? Off with Your Head!’ NPR The Salt [dalam jaringan] <http://www.npr.org/sections/thesalt/2012/01/10/144988133/drink-coffee-off-with-your-head> [30 Juli 2016].

Fair Trade International (2016) Early Sounds of Success for South East Asia’s First All-Women Coffee Cooperative [dalam jaringan] <ww.fairtrade.net/producers/meet-the-producers/meet-the-producers-details/article/early-sounds-of-success-for-south-east-asias-first-all-women-coffee-cooperative.html>  [22 Agustus 2016].

Frontier to Heartland (2009) ‘Sexual Revolutions.’ Newberry Library [dalam jaringan] <http://publications.newberry.org/frontiertoheartland/exhibits/show/perspectives/dillpickle/sexualrevolutions> [21 Agustus 2016].

GoCoffeeGo (2016) The History of Coffee by Professor Peabody [dalam jaringan] <http://www.gocoffeego.com/professor_peaberry/history_of_coffee/1900> [20 Agustus 2016].

Grounds for Change (2016) The Story of Cafe Femenino Coffee [dalam jaringan] <http://www.groundsforchange.com/communities/cafe_femenino.php> [21 Agustus 2016].

Mental Floss (2009) The Rise of the Flapper [dalam jaringan] <http://mentalfloss.com/article/22604/rise-flapper> [21 Agustus 2016].

Seekershub (2016) Coffee, Worship and the Meaning of Life [dalam jaringan] <http://seekershub.org/blog/2016/04/coffee-worship-meaning-life/ > [21 Agustus 2016].

Seekershub (2016) The History of Coffee and its Role in Muslim Worship <http://seekershub.org/podcast/2016/04/27/history-islam-coffee/> [21 Agustus 2016].

Socialistworker.org (2007) The Story of the GI Coffee Houses [dalam jaringan] <http://socialistworker.org/2007-2/656/656_10_Coffeehouses.shtml> [20 Agustus 2016].

The Guardian (2016) Empowering Women in Coffee Production [dalam jaringan] <https://www.theguardian.com/sustainable-business/fairtrade-partner-zone/empowering-women-coffee-production> [30 Juli 2016].

The Pilot’s Blog (2013) 5 Crazy Attempts to Ban Coffee [dalam jaringan] <https://www.theroasterie.com/blog/5-crazy-attempts-to-ban-coffee/> [28 Agustus 2016].

Women’s History Network Blog (2012) Suffragettes and Tea Rooms [dalam jaringan] <http://womenshistorynetwork.org/blog/?p=1631> [28 Agusutus 2016].

(Revised 1 September 2016)