Monday, November 26, 2018

RELEVANSI ‘PENDEKATAN ANARKIS TERHADAP PENDIDIKAN’ BAGI SEKTOR KERJA MASA DEPAN


[English synopsis inside]

Anarchist Education Society


Seiring dengan perubahan yang terjadi akibat Revolusi Industri Keempat, institusi pendidikan perlu melakukan penyesuaian agar dapat mempersiapkan tenaga kerja yang memiliki keterampilan relevan bagi sektor kerja masa depan. Itulah salah satu kesimpulan survei World Forum (2016). Namun, menyiapkan lulusan yang memiliki keterampilan teknis yang tepat saja tidak cukup. Para pekerja masa depan harus menganut nilai-nilai yang mendukung suatu era teknologi dan komunikasi yang berkembang pesat dan mengaburkan batas-batas wilayah. Pendekatan seperti apa yang perlu diterapkan oleh institusi pendidikan agar sekolah-sekolah dapat memenuhi kebutuhan masa depan?


English Synopsis



An Anarchist Approach to Education and Its Relevance for the Future Work Sector



There has been a lot of buzz in the media lately on how education is not catching up with the progress of technology and that, as a consequence, schools will not be able to supply the work sector with a workforce that has the required skills.

Anarchist principles, such as cooperation, equality, social justice, and mutual aid align with the skills needed for the future work sector where collaboration, participation, non-hierarchy, and tolerance are a key part of the diverse work environment. Anarchist education—which ideas began in the 19th century and schools established in the 20th century—believe that the learning process should not be confined to the walls of the classroom and that children should explore topics of their interest without a set of subjects imposed upon them. All of these encourage innovative, critical thinking, and complex problem-solving abilities—abilities considered vital for the future work sector. Thus, an Anarchist approach to education applied in schools can reduce the gap between education and developments in the work sector.

However, Anarchism is critical of how the state uses education and schools to serve its economic and political purposes, thus resulting in children being the object of education. Therefore, whist an Anarchist approach to education can address future work-related issues, using it will shift education from being merely a tool of the state to an institution that will foster change for global equality.  




Pendidikan vs Progres

Beberapa lembaga internasional melihat bahwa sistem pendidikan yang dikembangkan saat ini oleh kebanyakan negara terlalu menekankan pada pencapaian akademis. Mereka mengimbau bahwa sistem seperti ini akan gagal mengejar kemajuan perkembangan teknologi. Sebagaimana dinyatakan dalam laporan World Forum (2016), keunggulan akademik bukanlah hal yang paling utama dibutuhkan oleh pekerja masa depan.

Kreativitas, fleksibilitas, dan independensi berpikir merupakan karakter pekerja yang oleh para pengamat pendidikan dipandang penting untuk sektor kerja masa depan. Soft skill seperti kepemimpinan, keinginan belajar, serta kemampuan beradaptasi, bekerja sama, dan memecahkan masalah rumit adalah hal yang perlu dimiliki generasi berikutnya. Sementara itu, aspek-aspek tersebut tidak tercermin dari skor PISA. Tak mengherankan jika penilaian kemajuan pendidikan di suatu negara yang diukur dari skor PISA dikhawatirkan akan membuat institusi pendidikan dan sekolah tidak mampu mengembangkan siswa yang memiliki keterampilan sebagaimana dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja pada masa mendatang. 

"Institusi pendidikan adalah institusi yang cenderung konservatif dan lamban mengikuti perubahan-perubahan di sekitarnya. Kondisi ini tentunya tidak lepas dari pengaruh lingkungan politik dan kepentingan-kepentingan terkait kekuasaan yang berada di belakangnya."

Selain itu, keberadaan teknologi telah mampu menghubungkan manusia dalam sekejap, mengaburkan berbagai pemisahan yang dahulu ada dan membuka sekat-sekat geografis dan budaya. Sebuah mindset dan perspektif yang terbuka terhadap perbedaan dan keberagaman menjadi penting untuk menghadapi masa depan. Pengembangan nilai-nilai toleran terutama di kalangan generasi muda menjadi amat relevan.

Badan PBB untuk pendidikan, sains, dan budaya, UNESCO pada 2017, mengidentifikasi lembaga pendidikan sebagai salah satu institusi yang berperan penting dalam meningkatkan toleransi. Dengan demikian, perbaikan pendidikan perlu mengembangkan materi ajar yang selaras dan mendukung nilai-nilai toleran.

Namun, institusi pendidikan adalah institusi yang cenderung konservatif dan lamban mengikuti perubahan-perubahan di sekitarnya. Kondisi ini tentunya tidak lepas dari pengaruh lingkungan politik dan kepentingan-kepentingan terkait kekuasaan yang berada di belakangnya. Sebagai contoh, sebuah studi di Indonesia (PPIM UIN Syarif Hidayatullah, 2018) menemukan bahwa 57 persen guru di Indonesia memiliki opini intoleransi (Tempo.co, 2018). Berkembangnya opini semacam ini dapat diduga sebagai dampak kondisi sosial-politik di Indonesia yang akhir-akhir ini cenderung tidak mendukung toleransi. Kenyataan ini tentunya menjadi tantangan bagi institusi pendidikan untuk menjalankan perannya.

Menghadapi sifat institusi pendidikan yang cenderung konservatif, perubahan yang berarti pada bidang pendidikan memerlukan sebuah ‘’pendekatan kritis”. Dengan kemajuan zaman, kritik-kritik yang sebenarnya sudah lama dilontarkan terhadap institusi pendidikan terasa makin relevan.  


Pendekatan Anarkis

Sebuah pendekatan kritis terhadap pendidikan yang sudah lama berkembang adalah pendekatan yang berasal dari filsafat politik Anarkisme. William Godwin dan Max Stirner adalah tokoh-tokoh Anarkis yang mengawali perhatian Anarkisme terhadap pendidikan pada abad 19. Berbagai sekolah yang berlandaskan atau mengambil beberapa prinsip anarkisme telah berdiri sejak abad 20 di berbagai belahan dunia, sering disebut dengan nama “Sekolah Modern” (Modern School). Sekolah-sekolah ini mengambil model Sekolah Modern yang dipelopori tokoh pendidikan dan Anarkis asal Spanyol, Francisco Ferrer. Para Anarko-feminis yang memelopori kesetaraan gender dalam pemikiran Anarkisme, seperti Emma Goldman dan Voltairine de Cleyre, juga turut mendirikian Sekolah Modern lainnya.

Anarchism and Citizen Sociolinguistics


Namun, karena pendekatan yang melawan arus dan lingkungan sosial-politik yang tidak kondusif bagi kehadirannya, tak banyak dari Sekolah Modern yang mampu bertahan. Meskipun demikian, dengan tersebarnya pemikiran Ferrer, telah muncul kemudian berbagai sekolah alternatif yang secara langsung maupun tidak langsung, disadari atau tidak, dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diwariskan Ferrer.

Sejak ada kasus-kasus kelompok Anarkis yang bergerak dengan menggunakan terorisme dan kekerasan sebagai strategi, Anarkisme menjadi sinonim dengan kaos dan kekerasan. Didukung oleh citra negatif yang dibangun media arus utama dan pemerintah, semua ini menumbuhkan kesalahpahaman mengenai Anarkisme sebagai sebuah pemikiran politik–hal yang dipatut disayangkan.

Anarchism berasal dari bahasa Yunani, anarchos yang berarti tanpa otoritas (without authority). Anarkisme merupakan filsafat politik yang memandang bahwa manusia akan lebih baik tidak diatur oleh negara. Masyarakat dipandang dapat mengatur dirinya sendiri berdasarkan prinsip kerja sama, nonhierarki (kesetaraan), keadilan sosial, partisipasi masyarakat, dan saling membantu (mutual aid) (DeLeon, 2008). Prinsip inilah yang juga melandasi pemikiran Anarkis terhadap pendidikan. Ferrer menurunkan prinsip-prinsip tersebut ke dalam Sekolah Modern menjadi prinsip-prinsip: berpegang pada akal sehat dan bukan doktrin, kemampuan untuk mengatur diri sendiri, kebebasan memilih, kesetaraan, dan penghormatan dan rasa percaya terhadap anak (Gribble, 2018: 187−188).

Pendekatan Anarkis terhadap pendidikan menjadi kian relevan dalam konteks perubahan-perubahan dunia yang menghadapi kemajuan teknologi pesat dan kemajemukan. Pendekatan Anarkis terhadap pendidikan tidak hanya menjawab tantangan sektor kerja masa depan, tetapi dengan prinsip-prinsipnya, pendekatan ini dapat mengubah masa depan pendidikan.


Pekerja masa depan

Berikut adalah keterampilan yang dibutuhkan oleh pekerja masa depan, sebagaimana menjadi bahasan dalam berbagai media, dan bagaimana pendekatan Anarkis terhadap pendidikan dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan tersebut.

1. Berpikir analitis dan kritis serta memecahkan masalah
 
Sebagaimana dijelaskan Noam Chomsky, salah satu tokoh Anarkis modern, seharusnya sekolah merupakan tempat bagi anak untuk menjelajah dan bukan berkutat dengan buku teks. Menurutnya, sains, matematika, dan membaca merupakan pelajaran yang bermanfaat bagi anak didik tetapi bukan merupakan tujuan utama pendidikan. Pendidikan yang memfasilitasi anak untuk menjelajahi berbagai topik dan tidak didikte oleh sebuah kurikulum yang menyabdakan apa yang benar dan apa yang salah akan mengembangkan nalar seorang anak dan membuatnya mampu berpikir analitis dan kritis sehingga dapat menyelesaikan masalah-masalah yang kompleks.

2. Kreatif, inovatif, dan independensi dalam berpikir
 
Ruang kelas saat ini berjalan berbasis pada hierarki dan dikotomi seperti guru-murid, benar-salah, baik-buruk, pandai-bodoh, laki-laki-perempuan, dan sebagainya–hal yang memaksa anak untuk menerima sebuah otoritas dan standar nilai. Norma kepatuhan ini beserta standar akademis yang ditetapkan institusi pendidikan (seperti ranking yang mengurutkan siswa berdasarkan standar kepandaian) tidak saja menghambat kreativitas tetapi juga merendahkan harga diri (devalue) anak-anak yang tidak mudah beradaptasi pada tuntutan standar tersebut. 



Anarchist Free School

Kepandaian yang diukur berdasarkan struktur nilai yang ditetapkan dari pusat dan tidak besentuhan langsung dengan pengalaman anak-anak akan mengasingkan anak didik yang tidak menjadi bagian dari proses penentuan standar tersebut. Mereka tidak diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan terhadap sebuah proses yang akan menentukan nasib dan masa depan mereka. Sistem pendidikan semacam ini bisa saja menghasilkan anak-anak yang bisa lulus dengan baik, tetapi belum tentu memiliki independensi dalam berpikir dan kemampuan untuk berinovasi. Pendekatan Anarkis terhadap pendidikan mendorong anak untuk menjelajahi hal-hal sesuai minatnya, memperkenalkan anak pada berbagai sudut pandang dalam melihat satu hal, dan memberi ruang cukup untuk perbedaan. Hal ini diyakini akan membangun anak-anak yang mampu berpikir out of the box, kreatif, dan inovatif.

3. Kolaborasi, partisipasi, dan kesetaraan
 
Kerja kelompok adalah ciri utama model bekerja pada masa depan. Dalam model ini, menurut para pengamat, peran otoritas yang tersentralisasi tidak utama dan yang lebih menentukan adalah kepemimpinan tim yang merupakan kepemimpinan horizontal. Siapa yang menjadi pemimpin tim ditentukan oleh siapa yang memiliki keahlian yang tepat untuk suatu pekerjaan yang sedang dilakukan tim tersebut. Partisipasi dan kontribusi setiap anggota tim menjadi penting bagi keberhasilan pekerjaan.

Untuk keberhasilan model kerja yang sarat dengan diversifikasi keahlian ini, nilai-nilai kesetaraan antaranggota dan antartim perlu dijunjung tinggi. Kolaborasi, partisipasi, dan kesetaraan merupakan prinsip-prinsip dalam pendekatan Anarkis yang diterapkan dalam proses pembelajaran di sekolah. Pada saat yang bersamaan, diskriminasi merupakan hal yang tidak diberi tempat. Oleh karena itu, pendekatan Anarkis terhadap pendidikan akan mendorong kesetaraan gender serta keterlibatan kelompok-kelompok marginal lainnya, yaitu kelompok miskin, difabel, dan lain sebagainya–hal yang juga merupakan visi masyarakat masa depan.

4. Adaptasi, fleksibilitas, dan toleransi

Sebagaimana sudah menjadi hal yang biasa saat inipun, bekerja pada masa depan mengedepankan mobilitas dan komunikasi lintas batas. Dengan pola seperti ini, bekerja tidak akan terhambat oleh jarak dan pekerja senantiasa berada dalam lingkungan yang penuh keberagaman dari segi nasionalitas, etnisitas, keyakinan dan keagamaan, dan lain-lain. Oleh karena itu, kemampuan beradaptasi, fleksibilitas, dan sikap toleransi seseorang menjadi hal-hal yang sangat penting dalam dunia kerja masa mendatang.               

Kebebasan menjelajah sesuai minat saat belajar alih-alih mengandalkan buku cetak merupakan hal yang sentral dalam pendekatan Anarkis terhadap pendidikan. Siswa difasilitasi untuk mempelajari berbagai topik atau keterampilan langsung di tempatnya, misalnya di sawah, pasar, laboratorium rumah sakit, pabrik, atau gedung parlemen. Ruang kelas bukan tempat utama kegiatan belajar itu berlangsung. Pembelajaran yang berorientasi pada praktik ini akan mengembangkan kemampuan berinteraksi serta tingkat adaptasi dan fleksibilitas siswa. Sementara itu, prinsip kesetaraan dan keadilan sosial yang mengarahkan pembelajaran akan menanamkan sikap-sikap inklusif, menerima keberagaman, dan toleransi–hal yang akan membekali siswa untuk era masa depan yang bergerak cepat dan global. 

"Pendidikan menjadi kendaraan untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi dan politik negara dan anak cenderung direduksi menjadi objek pendidikan."

 Guru dan Metode Pengajaran Alternatif

Dalam pendekatan Anarkis terhadap pendidikan, peran guru adalah sebagai fasilitator, bukan sebagai sumber utama pengetahuan, apalagi mengingat bahwa beragam sumber informasi sekarang dapat diakses di dunia maya. Dengan demikian, relasi guru dan murid lebih bersifat horizontal. Namun, dengan kondisi anak-anak yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang secara umum memelihara berbagai prasangka, peran guru menjadi amat penting dalam membentuk nilai-nilai kesetaraan–termasuk kesetaraan gender, antirasisme, dan inklusivitas di dalam diri anak. Oleh karena itu, kompetensi guru yang dibutuhkan mencakup kesadaran terhadap diskriminasi dan sikap-sikap intoleran.
 
Kalau dibilang pendekatan Anarkis itu adalah satu-satunya pendekatan pendidikan yang memperhatikan hal-hal yang sudah diuraikan di atas, sebenarnya juga tidak. Terdapat metode-metode pengajaran yang juga sudah lama berkembang yang dalam berberapa aspek memiliki kesamaan dengan metode pengajaran pendekatan Anarkis. Di Indonesia saat ini juga terdapat berbagai sekolah alternatif yang menerapkan metode pengajaran yang memiliki beberapa kesamaan dengan metode dalam pendekatan Anarkis. Bahkan dalam sejarah Indonesia pun ditemui berbagai sekolah alternatif sebelum akhirnya menghadapi penentangan dari pemerintahan Hindia Belanda atau harus tunduk pada penyeragaman yang diatur pemerintah Orde Baru.

Namun, alih-alih menerapkan metode pengajaran alternatif pada pendidikan alternatif saja, metode tersebut dapat dan perlu diadopsi dalam pendidikan umum untuk menghadapi perubahan-perubahan global yang terjadi. Terkait hal ini, guru merupakan agen perubahan yang penting.


Tujuan Pendidikan

Kegelisahan para pengamat terhadap kesenjangan antara perkembangan dalam institusi pendidikan dan perkembangan dalam dunia kerja yang dapat menghalangi kemajuan merupakan kegelisahan terhadap keberlanjutan pembangunan kapitalis. Meskipun pendekatan Anarkis terhadap pendidikan makin relevan untuk mengantisipasi perkembangan dunia kerja di masa mendatang, tetapi Anarkisme mengkritik negara karena menggunakan sekolah bagi kepentingannya mencetak tenaga kerja untuk menjalankan roda pembangunan dan mencapai tujuan-tujuan negara.


UnschoolingHub.com

Selain untuk mencetak pekerja, melalui sekolah, negara menyebarkan berbagai gagasan tentang moral atau “kebenaran” untuk mendukung kekuasaan negara. Dengan demikian, pendidikan menjadi kendaraan untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi dan politik negara dan anak cenderung direduksi menjadi objek pendidikan. Sikap kritis dan mengeksplorasi dalam pendekatan Anarkis terhadap pendidikan dapat menjadi benteng dalam upaya melindungi institusi pendidikan dari penguasaan sumber informasi, monopoli kebenararan, dan berbagai kepentingan politik dan ekonomi.

Pada masa depan yang bergerak cepat dan global, nasionalisme hendaknya makin berkurang relevansinya dan setiap orang sepatutnya mengambil posisi sebagai warga dunia. Selaras dengan hal ini, tujuan pendidikan hendaknya adalah untuk membangun nilai-nilai kehidupan dan perubahan yang bermanfaat bukan saja bagi negara, tetapi bagi kemaslahatan dan perdamaian masyarakat dunia. 



Sumber

Chertoff, Emily (2013) ‘The Strange Story of New York’s Anarchist School.’ The Atlantic https://www.theatlantic.com/national/archive/2013/01/the-strange-story-of-new-yorks-anarchist-school/266224/ [10 Oktober 2018].

DeLeon, Abraham (2008) Oh No, Not the “A” Word! Proposing an “Anarchism” for Education https://theanarchistlibrary.org/library/abraham-deleon-oh-no-not-the-a-word-proposing-an-anarchism-for-education [20 Oktober 2018].

Goldman, Emma (1910) Anarchism and Other Essays http://dwardmac.pitzer.edu/Anarchist_Archives/goldman/aando/ferrer.html [20 Oktober 2018].

Gribble, David Good (2018) ‘News for Francisco Ferrer: How Anarchist Ideas in Education Have Survived Around the World.’ Changing Anarchism https://www.manchesteropenhive.com/view/9781526137289/9781526137289.00019.xml [25 November 2018].
                                           
Pota, Vikas (2016) Why Asia’s Future Employees Need More Than Good Grades. World Economic Forum https://www.weforum.org/agenda/2016/05/asia-future-employees-education-skills/ [21 Oktober 2018].

Tempo.co (2018) ‘Sebanyak 57 Persen Guru Punya Opini Intoleran’ Tempo.co https://nasional.tempo.co/read/1136988/sebanyak-57-persen-guru-punya-opini-intoleran [25 November 2018].

UNESCO (2017) Promoting Tolerance http://www.unesco.org/new/en/social-and-human-sciences/themes/fight-against-discrimination/promoting-tolerance/ [21 Oktober 2018].

YouTube (n.d.) Noam Chomsky-The Purpose of Education https://youtu.be/DdNAUJWJN08 [4 November 2018].

Yunita, Kurnia dan Anggar Septiadi (2015) Sekilas mengenai Kemunculan Sekolah Alternatif di Indonesia. Ekstrakurikulab http://ekstrakurikulab.serrum.id/2016/05/13/sekilas-mengenai-kemunculan-sekolah-alternatif-di-indonesia/ [25 November 2018].