Sunday, September 21, 2014

MENANTANG OTORITAS PENELITI:

Catatan tentang buku “Metode-Metode Feminis dalam Penelitian Sosial,” karya Shulamit Reinharz[i]

(Diterbitkan oleh Women Research Institute, Jakarta, 2005)


What is valid knowledge? Itulah pertanyaan yang mengusik studi feminis. Banyak kajian feminis yang menantang bagaimana ”pengetahuan” itu dicapai dalam penelitan arus-utama dan bersikap kritis terhadap metode-metode yang digunakan. Kritik feminis terhadap metode-metode penelitian konvensional atau arus-utama, terutama terletak pada masalah epistemologi. Para peneliti feminis khususnya mempertanyakan apakah ”objektivitas” dapat dicapai dalam suatu penelitian? Dan selanjutnya, apakah objektivitas memang diinginkan dalam suatu penelitian?

Munculnya pertanyaan-pertanyaan seperti di atas pada awal dekade 1980, memang cukup mengganggu status quo berbagai bidang ilmu sosial, termasuk sosiologi. Shulmit Reinharz, seorang profesor sosiologi dari Brandeis University, A.S., dalam buku setebal 582 halaman (termasuk daftar pustaka, catatan akhir, dan indeks), yang diterbitkan pada 1992, mengumpulkan dan memaparkan dengan amat perinci––bahkan hampir seperti mendokumentasi––berbagai perkembangan dan pertarungan pemikiran kaum peneliti feminis mengenai metode-metode feminis yang selama ini telah dikembangkan dalam penelitian sosial. Dalam bukunya Metode-Metode Feminis dalam Penelitian Sosial, penulis dengan tekun mengutip beragam sumber untuk mendeskripsikan apa yang dimaksud dengan penelitian feminis dan pemikiran para peneliti perempuan terdahulu yang kemudian mempelopori munculnya metode-metode feminis. Meski ditulis sekitar 20 tahun yang lalu dan bertepatan dengan era ”Gender and Development” yang melanda negara-negara berkembang pada tahun 1990-an, sampai saat ini pun buku ini masih bisa dikatakan sebagai wacana yang relatif baru bagi penelitian sosial di Indonesia.

Apa itu Penelitian Feminis?
Reinharz mengawali bukunya dengan menjelaskan apa yang dimaksud dengan penelitian feminis. Penelitian feminis itu pada awalnya berkembang karena adanya peneliti-peneliti perempuan yang menyadari bahwa perempuan serta pengalaman dan perspektifnya sering diekslusikan sebagai subjek penelitian. Menelusuri pandangan para pendekar penelitian feminis sebelumnya, seperti Maria Mies[ii] dan Ann Oakley[iii], dapat disimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada kesepakatan di antara para feminis tentang definisi penelitian feminis. Reinharz mengungkapkan, ”Daripada menyatakan apa itu penelitian feminis, saya memlilih alternatif lain yakni memberi contoh apa saja yang tercakup dalam penelitian feminis...” (2).

Membaca buku ini, setidaknya dapat ditemukan beberapa prinsip atau ciri yang menandai penelitian feminis, seperti diuraikan di bawah.

  1. Menolak positivisme. Penelitian feminis menolak adanya pengetahuan yang bisa dibangun melalui penelitian yang netral, bebas nilai, dan bahwa objektivitas bisa dicapai dalam penelitian. Penelitian feminis sebaliknya justru mementingkan subyektivitas pengalaman personal peneliti dan subjek penelitian. Pengalaman personal individu dipandang menghubungkan individu tersebut dengan persoalan sosial.
  2. Ingin mewujudkan hubungan egaliter antara peneliti dan yang diteliti. Metode penelitian feminis menolak hierarki antara peneliti dan yang diteliti dan pemisahan yang tegas antara objek dan subjek dalam penelitian. Peneliti diharapkan terlibat secara penuh maupun emosional bersama partisipan penelitian.
  3. Bersifat inklusif. Peneliti feminis menganggap komunitas bisa berpartisipasi dalam mendesain, menginterpretasi hasil penelitian, dan merumuskan kesimpulan. Secara ideal, subjek penelitian menjadi penentu dan pemilik penelitian. Di balik prinsip ini sebenarnya adalah penolakan terhadap otoritas suara peneliti dalam menginterpretasi suatu fenomena.
  4. Memiliki sensitivitas gender. Penelitian feminis sensitif terhadap hubungan-hubungan gender dan mengenali adanya ketimpangan kekuasaan yang berbasis gender yang terutama merugikan perempuan.
  5. Menyadari adanya pluralisme. Perempuan tidak dipahami sebagai kelompok yang homogen sehingga penelitian feminis sangat memperhatikan dimensi kelas, etnis, ras, orientasi seksual, usia, dan lain-lain dalam persoalan gender.
  6. Menolak androsentrisme. Peneliti feminis melihat bahwa pada umumnya ilmu sosial (dan ilmu lainnya) cenderung  merepresentasikan sudut pandang laki-laki (androsentris); bahwa kesimpulan yang ditarik cenderung merepresentasikan pengalaman laki-laki dan digeneralisasikan sebagai pengalaman manusia atau sekelompok
  7. berbagai metode yang lazim digunakan dalam masyarakat tertentu, padahal belum tentu merepresentasikan apa yang sebenarnya dialami perempuan.
  8. Mengombinasikan berbagai metode penelitian arus-utama. Penelitian feminis mengombinasikan penelitian arus-utama dan pada saat bersamaan melakukan inovasi-inovasi pada metode-metode penelitian tersebut agardapat lebih menggali dan mengungkapkan masalah gender yang ada.
  9. Memiliki tujuan (agenda terbuka) untuk memberdayakan perempuan. Pemberdayaan perempuan yang dilakukan, antara lain, dalam bentuk terbangunnya pemahaman perempuan tentang situasi dan kondisi mereka, misalnya, kendala-kendala struktural yang selama ini berdampak pada kehidupan mereka dan jalan keluar yang mungkin bisa ditempuh. Pemberdayaan ini mengungkapkan suara para perempuan yang menjadi subjek penelitian dan peneliti sekaligus juga diperberdayakan karena dapat belajar dari pengalaman perempuan tersebut.
  10. Tujuan akhir penelitan adalah perubahan sosial. Perubahan yang dituju penelitian feminis adalah yang akan menghapus ketimpangan sosial, yang memperbaiki keadaan dan posisi perempuan dalam masyarakat. Perubahan ini bisa dalam arti perubahan yang lebih bersifat jangka panjang, seperti perubahan nilai-nilai, atau pun lebih praktis, yakni mengubah suatu kebijakan.
  11. Penelitian feminis berorientasi pada aksi politik. Aksi politik penelitian feminis tidak melulu berarti secara konkret merumuskan suatu rekomendasi kebijakan atau melakukan suatu aksi politik-praktis. Berorientasi pada aksi politik juga bisa mencakup penelitian yang bersifat kritik terhadap wacana dominan, misalnya, yang mengungkap bagaimana wacana tersebut mengukuhkan subordinasi perempuan. Seperti diungkapan Reinharz, “karena feminisme dari definisnya sudah beorientasi pada perubahan, semua penelitian feminis memiliki komponen aksi” (271).
Secara singkat dari prinsip-prinsip di atas dapat disimpulkan bahwa apa yang membedakan penelitian feminis dari pendekatan penelitian sosial lainnya adalah pandangannya bahwa gambaran ilmiah terhadap realitas cenderung tidak lengkap dan mengalami distorsi karena didominasi oleh asumsi-asumsi perspektif yang androsentris. Feminisme melihat bahwa nilai-nilai patriarkat turut membentuk konstruksi dan definisi tentang bagaimana penelitian dilaksanakan dan bagaimana pengetahuan dibentuk.

Metode-metode Feminis
Shulamit Reinharz
Perlu dipahami, menurut Reinharz, bahwa kritik feminis terhadap penelitian arus-utama berangkat dari kritik terhadap hierarki sosial yang menjadi basis hubungan kekuasaan dan androsentrisme dalam penelitian sosial, dan bukan dari penolakan terhadap metode-metode konvensional yang digunakan dalam penelitian sosial. Menurut Reinharz, feminisme adalah suatu perspektif, bukan metode (337). Feminisme, dalam konteks penelitian, merupakan ”perspektif terhadap metode yang ada dalam bidang penelitian tertentu atau perspektif yang digunakan untuk mengembangkan suatu metode inovatif” (337). Apa yang unik dari penelitan feminis adalah keragaman epistemologi dan metode yang digunakan. Untuk menjelaskan hal ini Reinharz mengutip Dale Spender:[iv] ”...di jantung pemikiran feminis adalah pemahaman yang sangat penting bahwa tidak ada satu kebenaran, satu otoritas, satu metode objektif yang mengarah pada produksi pengetahuan murni.” (7).

Mencermati penelitian-penelitan feminis awal, nampak bahwa penelitian tersebut menggunakan metode-metode yang biasa digunakan dalam penelitian arus-utama, seperti metode kualitatif dan kuantitatif. Dalam diskusi mengenai metode-metode feminis telah berkembang pandangan bahwa metode kualitatif lebih sesuai untuk penelitian feminis karena memberi gambaran perinci dan mendalam tentang permasalahan yang diteliti. Metode kuantitatif dipandang lebih mewakili penelitian yang positivistik. Pertanyaannya yang tertutup, metodologinya yang ketat, dan penekanannya pada netralitas serta penelitian bebas nilai, dianggap tidak bisa mengungkap akar persoalan di balik kondisi perempuan.

Kalau kita melihat ke belakang, memang perdebatan ini muncul di kalangan peneliti feminis Barat, namun sesuai dengan prinsip majemuk (mengombinasikan berbagai metode) dalam penelitian feminis, maka perdebatan ini kian ditinggalkan. Walaupun banyak peneliti feminis yang menganggap ada nilai lebih dari penelitian kualitatif, seperti dalam metode wawancara, namun banyak juga yang menganggap bahwa pendikotomian antara metode kualitatif dan kuantitatif dengan anggapan bahwa kualitatif itu ”lebih feminis”, tidak sepenuhnya benar. Penelitian feminis bukan merupakan penelitian dengan metode yang tunggal (273), tetapi mengombinasi berbagai metode, termasuk di dalamnya metode kuantitatif. Sejalan dengan pandangan ini, peneliti feminis lainnya menganggap bahwa metode majemuk dan interdisipliner adalah yang paling sesuai dengan sifat penelitian feminis yang ingin mencapai pengetahuan baru berdasarkan realitas pengalaman perempuan. Reinharz memperkuat argumen tersebut dengan menyatakan bahwa ada visi ganda dalam penelitian feminis, yakni pada satu sisi menggunakan metodologi yang memenuhi standar keilmiahan dan di sisi lain, tetap dilandasi oleh prinsip-prinsip feminis (127).

Walau menggunakan metode-metode konvensional, inovasi penelitian feminis terhadap metode-metode tersebut yang secara tegas membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitan arus-utama adalah penolakannya terhadap positivisme. Positivisme dianggap sebagai suatu aspek dari pemikiran patriarkat yang memisahkan para sarjana dari fenomena yang sedang diteliti. Dalam konteks ini, menurut Reinharz, penelitian lapangan feminis memiliki peran khusus, yakni menegakkan perspektif nonpositivisme, membangun kembali ilmu sosial, dan menghasilkan konsep-konsep baru menyangkut perempuan (5960).

Prinsip feminis di atas nampak jelas dalam penelitian feminis dengan metode majemuk. Reinharz selanjutnya mengidentifikasi beberapa metode orisinal feminis, baik yang menciptakan metode baru maupun yang menggunakan metode lama dengan cara baru, antara lain, penyadaran, buku harian kelompok, drama, suara penelitian nonotoritatif, percakapan/dialog, identifikasi, dan fotografi atau teknik gambar. Selain itu, ada berbagai perkembangan dalam metode penelitian feminis, seperti penelitian wawancara feminis, etnografi feminis, survei feminis, eksperimental feminis, lintas-budaya feminis, sejarah lisan feminis, analisis isi feminis, studi kasus feminis, dan penelitian aksi feminis. Metode-metode tersebut merupakan metode alternatif yang memiliki fokus pada interpretasi, menyelami latar sosial, dan bertujuan memperoleh pengertian intersubjektif antara peneliti dan yang diteliti (59).

Melihat pada metode-metode feminis yang telah berkembang, jelas bahwa para peneliti feminis ingin mengkritik dominasi otoritas peneliti dalam menginterpretasi suatu fenomena atau gejala. Sebaliknya, mereka ingin menampilkan suara subjek yang diteliti. ”Peneliti feminis mengembangkan ide-ide dengan mengkritik status quo, kemudian mengkritik kritik itu, atau mencari sintesis yang akan dikritik” (336). Mengingat bahwa penelitian feminis dibimbing oleh teori feminis dan karena ada banyak definisi feminisme, maka ”tidak ada ’cara feminis’ tunggal untuk melakukan penelitian” (339).

Beberapa Pikiran Penutup
Mengakhiri bukunya dengan berbagai persoalan yang hadir dalam penelitian feminis, bab terakhir menekankan bahwa perbedaan pendapat tentang apa yang dipandang sebagai penelitian feminis di antara para feminis sendiri tidak perlu ditanggapi sebagai hal yang negatif atau sebagai kelemahan. Hal ini justru menunjukkan bahwa kelompok ini bukanlah kelompok yang seragam (374), mengingat tidak adanya rumusan tentang feminisme yang juga seragam. ”Adanya perbedaan-perbedaan ini menguntungkan karena tidak adanya ortodoksi memungkinkan kebebasan pikiran dan tindakan” (6).

Buku yang layak disebut sebagai reader bagi para mahasiswa maupun praktisi ini menunjukkan bagaimana para feminis dari masa silam hingga awal dekade 1990 redefinisi apa yang menentukan keilmiahan sebuah penelitian sosial.
  







[i]Tulisan ini pernah dipresentasikan pada diskusi buku internal sebuah lembaga penelitian di Jakarta.
[ii]Maria Mies adalah profesor sosiologi di Cologne University of Applied Sciences, German dan penulis beberapa buku klasik feminis, antara lain, Patriarchy and Accumulation on a World Scale (1986). Pada 1979 mendirikan program Women and Development di Institute of Social Studies di Belanda. Ia banyak menyoroti tentang pengembangan pendekatan alternatif dalam metodologi dan ekonomi.
[iii]Ann Oakley adalah profesor sosiologi dan pendiri Social Research Unit di Institute of Education, University of London serta penulis beberapa buku klasik feminis, seperti The Sociology of Housework (1974).
[iv]Dale Spender adalah dosen dan penulis feminis asal Australia. Bukunya yang terkenal, antara lain, The Man Made Language (1980) dan For the Record: the Making and Meaning of Feminist Knowledge (1985).

Sunday, September 14, 2014

KATE MILLETT: Seksualitas, Politik, dan Revolusi



Apa yang merupakan salah satu kontribusi penting teori feminis terhadap analisis sosiologis tentang kekuasaan? Tentunya tak lain dari apa yang melahirkan jargon terkenal “the personal is political”, yakni sebuah redefinisi terhadap makna “politik”. Redefinisi ini menjadi cornerstone analisis gender seperti yang kita kenal sekarang. Scholar feminis yang membidani teori tentang politik ini adalah Kate Millett, seorang doktor dari Colombia University, Amerika Serikat. “By politics I mean powerstructured relationships, the entire arrangement whereby one group of people is governed by another, one group is dominant and the other subordinate,” tutur Millett dalam bukunya Sexual Politics (1970) yang pernah menjadi bestseller di A.S. dan kerap disebut sebagai manifesto feminis. Pemahamannya tentang politik ini ia kembangkan menjadi teori sexual politics yang menjadi grand theory aliran feminisme radikal dan telah membawa emanispasi perempuan pada makna yang melampaui persamaan hak.
Kate Millett adalah seorang penulis feminis, aktivis gerakan perempuan, dan pematung asal A.S. Ia terutama dikenal lewat karya besarnya, Sexual Politics, buku yang sangat revolusioner pada era 1970-an. Dalam buku yang merupakan disertasi Millett untuk Columbia University ini, Millett tidak saja menghubungkan opresi perempuan dengan institusi perkawinan dan keluarga, tetapi juga melihat bagaimana heteroseksisme sebagai ideologi telah menyokong kuat sistem patriarkat. Buku ini termasuk salah satu sumber tertulis pertama yang membangun fondasi teori feminisme radikal, yang pertama kali  menyebutkan perkawinan monogamis dan keluarga sebagai institusi-institusi utama yang menjalankan opresi perempuan.  Sexual Politics menjadikan Millett sebagai seorang pionir pembela hak-hak perempuan dan sekaligus kaum lesbian. 

Sexual Politics terbit pada saat munculnya gerakan feminsime gelombang kedua yang mengembangkan suatu perspektif yang berpusat pada perempuan (women-centered perspective). Gerakan ini sebenarnya lahir dari gerakan Kiri Baru dan mencoba mengembangkan teori revolusi sosial baru yang lebih radikal. Dari gerakan gelombang kedua ini, lahir apa yang disebut sebagai gerakan feminisme radikal. 

Sesaat setelah bukunya terbit, Millett pun mendadak menjadi terkenal. Millett menjadi berita sampul Majalah Time edisi Agustus 31, 1970. Di situ ia diberi julukan “the Mao Tse-Tung of Women’s Liberation”.

Biodata Singkat[i]
Sebelum dikenal sebagai seorang aktivis, Millett lebih tepat disebut sebagai akademisi.  Pada 1956 ia memperoleh gelar B.A. dari Minnesota University dengan magna cum lauda. Dua tahun kemudian Millett berhasil meraih gelar M.A. dari St. Hilda’s College, Oxford dan merupakan perempuan pertama yang diberikan gelar M.A. dengan first class honors oleh college tersebut.
 
Setelah memperoleh gelar M.A.-nya dan sempat mengajar sastra Inggris di North Carolina University di Greensboro, pada 1959, Millett memutuskan untuk pindah ke kota New York guna mengembangkan kariernya sebagai seorang seniman. Untuk membiayai hidupnya, Millett mengajar pada sebuah sekolah taman kanak-kanak di Harlem. Pada 1961 ia pindah ke Tokyo dan mengajar sastra Inggris di Universitas Waseda dan di kota itu pula ia belajar seni mematung. Di situ Millett bertemu dengan Yoshimura, seorang pematung yang kemudian ia nikahi pada 1965. Dua tahun sebelumnya Millett telah kembali ke New York bersama Yoshimura dan mengajar Sastra Inggris dan Filsafat di Barnard College. Sayangnya, karena aktivismenya di bidang hak sipil, Millett akhirnya dikeluarkan dari college tempat ia mengajar.

Pada 1970, Millett berhasil memperoleh gelar doktornya di bidang Sastra Inggris dan Perbandingan Sastra dari Columbia University dengan disertasinya yang merupakan kombinasi dari analisis literatur, sosiologi, dan antropologi, dan yang kemudian diterbitkan pada bulan Juli tahun yang sama dengan judul Sexual Politics. Buku ini didedikasikan kepada suaminya, Fumio Yoshimura.

Millet mungkin pada awalnya banyak dipengaruh oleh aktivisme mendiang ibunya. Lahir di St. Paul, Minnesota, A.S., di tengah-tengah keluarga Katolik-Irlandia dengan nama Katherine Murray Millett pada tanggal 14 September, 1934, Kate kecil mengikuti pendidikan di sekolah Katolik di daerah St. Paul. Namun, ibu Millett, Helen Millett, cukup progresif untuk zamannya. Ia adalah seorang mantan aktivis yang pernah ikut berkampanye mendukung hak-hak sipil, mendukung hak para gay, dan turun ke jalan untuk memprotes perang Vietnam. Millett menuliskan kisah hubungannya dengan sang ibunda dalam buku Mother Millett (2001).

Millett mengawali aktivismenya pada tahun 1960-an ketika Maoisme sangat memengaruhi gerakan mahasiswa. Pada masa ini gerakan pembebasan perempuan di Amerika, Inggris, dan Jerman mulai terbentuk dan kemudian dikenal sebagai gerakan feminisme gelombang kedua pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Sejak 1966, Millett bergabung dalam National Organization for Women (NOW), yang pada 1971 merupakan organisasi perempuan A.S. skala nasional pertama yang melegitimasi lesbianisme dan mendukung hak-hak kaum lesbian.
 
Di tengah-tengah aktivismenya, kehidupan pribadi Millett kerap dipandang kontroversial, bukan hanya oleh masyarakat umum, tetapi juga oleh kalangan aktivis perempuan karena meski terikat perkawinan, Millett menjalin hubungan cinta dengan beberapa perempuan,  yang juga ia kisahkan dalam beberapa bukunya, seperti Sita (1977). Millet pun baru resmi bercerai setelah 20 tahun dalam pernikahan.

Teori Sexual Politics
Dalam teorinya mengenai sexual politics, Millett menekankan bahwa opresi terhadap perempuan tidak saja bersifat ekonomi, opresi ekonomi hanyalah sebagian dari opresi yang dialami perempuan. Menurut Millett, patriarkat merupakan sistem yang independen dari moda produksi kapitalis.[ii] 
 
Dalam teori ini, politik tidak definisikan secara sempit sebagai dunia yang hanya berhubungan dengan partai, misalnya. Sebaliknya, politik didefinisikan sebagai struktur relasi, atau pengorganisasian yang sarat dengan kekuasaan, di mana satu kelompok atau individu-individu dikendalikan oleh kelompok atau individu-individu lainnya. Politik mencakup hubungan antarras, kasta, kelas, dan jenis kelamin.

Teori feminisme radikal telah banyak dikritik atas perspektifnya yang menguniversalkan pola dominasi laki-laki terhadap perempuan. Walaupun Millett melihat patriarkat sebagai sistem yang universal, sebenarnya ia mengakui bahwa ada variasi sejarah dan lokalitas. Sebagai contoh, prinsip sistem patriarkat bahwa laki-laki yang lebih tua yang memimpin tidak diterapkan secara konsisten dan seragam pada satu maupun semua masyarakat atau negara.

Millett menunjuk pada sejarah patriarkat di berbagai belahan dunia dengan mengemukakan contoh-contoh seperti penerapan sutte di India, pembentukan kaki perempuan di China, fenomena clitoridectomy (penyunatan klitoris), perdagangan perempuan, perkawinan anak perempuan, dan pelacuran yang ditemukan di banyak negara. 

Millet juga mengamati tradisi literatur Barat dari masa prasejarah, abad pertengahan, pencerahan, hingga kontemporer dan melihat bahwa teks-teks tersebut mengandung propaganda segregasi jenis kelamin yang menegaskan status superior maskulinitas. Analisis teks dalam buku Sexual Politics ini turut menginspirasi berkembangnya metode analisis teks pada gerakan feminism pascagelombang kedua dan feminisme gelombang ketiga dan merupakan kontibusi awal feminisme gelombang kedua pada feminist literary criticism yang berkembang pesat pada periode selanjutnya. 

Menurut Millet, patriarkat sebagai sebuah ideologi diterapkan melalui “consent” (kepatuhan). Sexual politics memperoleh kepatuhan dengan cara sosialisasi kedua jenis kelamin pada suatu tata cara dasar yang menyangkut temperamen, peran, dan status. Ketiga kategori tersebut dipilah lagi: status adalah komponen politik, peranan adalah komponen sosiologis, dan temperamen sebagai komponen psikologis. Ketiganya saling berketergantungan dan membentuk semacam rantai.
 
Institusi utama sistem patriarkat adalah keluarga. Keluarga adalah cermin masyarakat dan sekaligus penghubung pada masyarakat yang lebih luas. Sebagai perantara individu dan struktur sosial, keluarga menghasilkan pengendalian dan konformitas ketika otoritas lain dalam masyarakat tidak cukup untuk melakukannya. Sebagai unit dasar dan instrumen fundamental masyarakat patriarkat, keluarga dan peran-peran anggota di dalamnya merupakan prototipe masyarakat luas. Sebagai agen masyarakat luas, keluarga mendorong anggotanya untuk menyesuaikan dan mematuhi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Lebih dari itu, keluarga merupakan suatu unit dalam pemerintahan negara patriarkat yang memimpin warganya melalui kepala keluarga (laki-laki). 

Karena kerja sama antara keluarga dan masyarakat yang lebih luas sangat penting untuk menyokong sistem patriarkat, maka keluarga, masyarakat, dan negara adalah tiga institusi patriarkat yang saling berkaitan satu sama lain. Sumbangan utama keluarga dalam sistem patriarkat adalah sosialisasi kaum muda ke dalam ideologi patriarkat mengenai sikap-sikap individu yang menggiringnya ke kategori peran, temperamen, dan status. 

Oleh karena itu, perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap sifat-sifat yang dikategorikan maskulin dan feminin. Perubahan-perubahan ini tentunya akan membawa dampak yang besar bagi institusi keluarga, sebagai institusi terpenting patriarki. Penghapusan peran jenis kelamin dan kemandirian ekonomi perempuan akan melemahkan struktur otoritas dan ekonomi patriarki.

Karena opresi perempuan hadir dalam alam pikiran setiap manusia, sebuah revolusi sosial dan kultural mengandalkan pada perubahan kesadaran, di mana relasi baru antarjenis kelamin dan definisi baru manusia dan kepribadian manusia menjadi bagian terpadu dari kesadaran tersebut.

Penutup
Melihat kembali pada karya dan aktivisme Kate Millett, dapat dikatakan bahwa Millett telah sesungguhnya menjadikan apa yang pribadi sebagai hal yang politis dan telah memberi makna pada emanispasi perempuan yang melampaui sekadar persamaan hak.

Dengan Sexual Politics, Millett telah memberi sumbangan besar bagi pengembangan teologi feminisme radikal, di samping memberi landasan teori bagi feminisme gelombang kedua secara umum, dan menjadikan the personal is political sebagai praktik politik kaum feminis. Tidak mengherankan kalau karya Sexual Politics kerap disebut sebagai sebuah manifesto feminis. Buku ini sekaligus mendefinisikan kembali “perempuan” dan “politik”, serta pandangan mengenai revolusi itu sendiri. Seperti yang pernah diungkapkan Millett: “A sexual revolution begins with the emancipation of women.[iii]

Revisi 4 Desember 2016


[i] Bagian tentang biodata ini diambil dari berbagai sumber dalam jaringan.
[ii] Posisi analitis ini secara garis besar dapat dikatakan sebagai hal yang membedakan feminisme radikal dengan feminisme sosialis yang melihat kapitalisme sebagai akar opresi perempuan, dan juga dari feminisme liberal yang menitikberatkan pada reformasi sistem yang sudah ada, dengan menuntut perbaikan status perempuan dalam sistem tersebut. Teori sexual politics dipaparkan dalam Bab 2 buku Sexual Politics (1970).
[iii] Wawancara dengan Mark Blasius, pertama kali muncul dalam “Loving Boys" Serniotext(e) Special, Intervention Series #2, Summer 1980. Lihat Sexual Revolution and the Liberation of Children: An Interview With Kate Millett [dalam jaringan] https://www.ipce.info/ipceweb/Library/interv_kate_m.htm.

Sunday, September 7, 2014

LOST FEMINIST TEXTS: The Case of the Nikita Files



“I was falsely accused of a hideous crime and sentenced in life in prison. One night I was taken from my cell to a place called Section One, the most covert anti-terrorist group on the planet. Their ends are just, but their means are ruthless. If I don’t play by their rules… I die.”

Section One is a secret anti-terrorist government organization which recruits society's misfits and trains them to become international assassins for the government. Through a highly centralized governance and surveillance system, Section One is able to gain complete compliance from its recruits. Like a totalitarian state in its extreme, everyone's life is a public affair. Through the sowing of distrust and manipulation among its members, Section is able to rule and control its members. With a state of the art security system and communications technology, Section One is a secret world. A state in a state. No one is free to leave.

The quote above are the words spoken by actor Peta Wilson (as Nikita) in the beginning of La Femme Nikita, the 90’s TV series which ran from 1997–2001, originally on CTV Canada, and during which it developed a cult following. Nikita was wrongly jailed for a murder she did not commit and was recruited by Section who also faked her death to the outside world. As all the other recruits, Nikita enters Section against her will. In Section One, every member must work to achieve the organization's objective and complete its missions. One will obey for fear of death (cancelation). No one has a past; your past is repressed in Section. The scene where Michael (Roy Dupuis), Section's top operative, shows Nikita a picture of her grave and says “row eight, plot thirty” became iconic, something LFN die-hard fans will always remember. Nikita was then trained by Michael and she quickly became a high performing operative. And so the story goes, evolving on ethical issues as well as the relationship of the two characters.

Like typical TV entertainment, LFN displays a pattern of violence, heterosexual love, and a good looking blonde. The female heroine is sexualized and there to please viewers. Far from representing any feminist agenda, feminists will be quick to dismiss LFN as sending any message about women’s empowerment. But considering that TV entertainment is a product of culture and capital, nothing it offers will be aligned seriously to any disturbing notion of changing the world. However, just as many blog posts of the past ten years have discussed about feminist texts in Xena the Warrior Princess or Buffy the Vampire Slayer, we can equally find notions of girl power in LFN amidst the series' display of traditional pattern of male violence and authority. First, let's consider some facts:

LFN is pioneering. In the 90's, there were only a few TV female-led series with women who can kick ass and fight one on one with men. In this sense, LFN is pioneering and inspiring (in a good or bad way—depends on how you look at it), and it did lead to other TV series with such female heroines in the coming years and this sort of gender bending is now a usual site on prime time TV.

In LFN, women rule. Section was founded by a woman, Adrian (Sian Phillips), the modern day version of the matriarch. Her overthrow was master minded by Operations (Eugene Robert Glazer) which led him to the throne and secured Madeline's (Alberta Watson) position as second-in-command. This was the beginning of Operation's ruthless regime; a regime which Nikita would later be at war with.

Section’s female operatives are on an equal playing field. Female recruits go through the same training as the male before becoming an agent and must display the same standard of performance in all missions. The notion of women being weaker, especially physically, seems ancient history and these values just never appear in LFN. Section is a highly specialized and hierarchal organization, its members are highly trained professionals, members are valued based on their skills and position (although this raised ethical issues), not on their sex.

LFN is inclusive. Moving up through the seasons, Section HQ is filled with new recruits, men and women, and with multicultural backgrounds (I took a particular notice of the cast of Asian women). Note that Michael’s “real” wife (also a Section operative) was portrayed by an Asian actress and the woman he had to marry for a mission was Indian. For 90’s TV entertainment this inclusiveness is pretty cool.

Having said all that, I know that any true student of feminism will be quick to point out that the above analysis is misleading because gender equality is not measured by how women are as good as men or how they measure up to men. Equality is not about sameness (for more, see MacKinnon in Toward a Feminist Theory of the State, 1989). As such, assessing gender equality by using the male standard as a yard stick leads to false equality.

But then again, how much can one expect from TV in the alliance to support gender equality? The above list of facts is probably the most we can get from TV producers. However, looking closer, LFN does score high on one other aspect: No Cinderella ending. Although Nikita’s relationship with Michael became a strong element in the story, Nikita and Michael never ended up together. No matter how hard fans pleaded, the writers never gave in to a happy ending.

While some may argue that in reading LFN as a text, one will in fact find that there is a Cinderella tale in disguise. In later seasons Nikita was in search of her true identity, who she was before she was taken to Section, who took her to Section, and why? In her search of her files and her past—which were classified and only the top people in Section, such as Michael, can access—she later discovers that she is the daughter of the highest ranking man in the agent world, Section’s superior. So, all this time she was always guarded. And the fact that she is special to Michael, had made Michael go at length to protect Nikita from certain circumstances. One was when Michael faked Nikita’s cancelation which resulted in Michael being unsure if Nikita was able to escape an explosion. So he searches for her secretly in vain. And when he did find her, Nikita did not want to be found. So they had a struggle, and when Michael was able to hold Nikita back, he said “I thought I lost you.” Nikita answered “You never had me.” But, as can be predicted, they ended up making love anyway. However, owing to the series’ deceptive plots and twisted endings, viewers were well kept in the dark about Michael’s mysterious love for Nikita throughout most of the seasons. In some episodes he loves her and in others he is only using her to meet a mission’s end, and so forth. Michael’s unpredictability tends to cast him off as being the knight in shining armors.

In season’s 4 finale which was supposed to end the whole series, it was Nikita’s turn to save Michael, but to the surprise of the fans and not to mention their grave disappointment, it ended with Nikita not escaping with Michael and telling him that she does not love him. In reaction, Michael cut the skin under both of his eyes with a knife, crying blood instead of tears, he walked away from her. Nikita didn’t even look back.    


Another eight episodes were later filmed due to the demand of devastated fans. Ending the series for good, in the last episode of season five, still—to the disappointment of most fans—Nikita chose Section over Michael again, fulfilling her father’s wishes that she heads Section. Although this time it all ended with Nikita telling Michael she loves him, there was no Cinderella ending, no happy ever after…. If in Sex in the City, the Movie 2, Carrie—TV icon of the liberated woman—ends up living comfortably with boyfriend, Big, in his high end apartment and after her fling with her ex, Big finally decides to put a rock (ring) on her finger; in LFN, no one can save Nikita. This is LFN’s story telling strength; however, these “texts” become lost amidst all the violence and love making. They are presently subtle within the strong dialogs—concise and sharp—which characterizes LFN. LFN is heavy on dialog. Exchanges are made Section style: gazeless, emotionless, and zombie-like. What makes LFN edgy is the pause between dialogs and the body language that follows. It is through this manner of dialog that viewers learn of the faith that bonds Nikita and Michael. As in Section, operatives live and kill for today—there is no past or after life, and there are no fairy tales and princesses to be saved.