[The
French Revolution. English synopsis
inside]
Tak peduli tubuh yang diguyur hujan deras, dengan menggenggam senjata dan berbekal amunisi, sedikitnya 7.000 perempuan terus berjalan melakukan long march sepanjang 12 mil dari Paris ke Versailles. Dengan pakaian basah kuyup dan senapan di tangan, mereka melangkah dengan lantang menuju istana kediaman Raja.
Kaum
laki-laki pun kemudian turut bergabung. Kumpulan massa perempuan dan laki-laki ini
hendak mendatangi Raja Louis XVI untuk memintanya memerhatikan masalah kekurangan
pangan yang dihadapi rakyat. Mereka juga meminta Raja pindah ke kota Paris agar
Raja lebih dekat dengan rakyat.
Saat
sampai di istana, pada peristiwa bersejarah yang terjadi pada Oktober 1789 ini,
kaum perempuan dan laki-laki melumpuhkan keamanan istana dengan membunuh beberapa
penjaga. Sebelumnya, pada 14 Juli, kaum perempuan juga ikut serta dalam penyerangan
penjara Bastille yang merupakan simbol kekuasaan absolut raja.
Rentetan
peristiwa di atas mengawali apa yang dikenal sebagai Revolusi Perancis,
revolusi yang begitu memengaruhi sejarah demokrasi. Ironisnya, revolusi akbar ini
ternyata menyimpan sejarah kelam penindasan terhadap perempuan.
Dikembalikan ke Rumah
Revolusi
Perancis menumbangkan kekuasaan monarki ketika Raja Louis XVI dan kemudian Ratu
Marie Antoinette diseret ke guillotine.
Revolusi ini menandai permulaan Perancis berada di bawah pemerintahan republik
yang dilandasi semboyan terkenal–liberte, egalite, franite (kebebasan,
kesetaraan, persaudaraan). Namun, perjuangan tersebut pada kenyataannya tidak mengindahkan
nilai-nilai yang diusung oleh semboyangnya. Negara republik baru itu
mempertahankan diri dengan menyingkirkan siapa saja yang dianggap akan
melemahkan posisinya. Karenanya, sebanyak 16.000 hingga 40.000 jiwa mati pada
1793–94, terutama di bawah pisau guillotine.
Di antara para korban adalah sejumlah perempuan yang mendukung revolusi.
Kebebasan
kaum perempuan dan protes-protes aktivis perempuan dianggap akan mengguncangkan
kekuasaan negara republik. Maka kaum perempuan diharuskan kembali ke rumah
untuk mengurus keluarga dan dilarang mendirikan perkumpulan politik sejak 1793.
Olympe
de Gouges, seorang aktivis perempuan, menulis manifestonya dalam pamplet
“Deklarasi Hak Asasi Perempuan dan Warga Negara” pada 1791 sebagai respons
terhadap “Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara” (1789) yang mengeksklusikan
perempuan sebagai warga negara. Ia menemui ajalnya di bawah pisau guillotine pada 1793. Nasib yang sama
dialami Mme. Roland, istri seorang pejabat politik yang menjadi tuan rumah
sebuah “salon” (klub diskusi politik).
Setelah
kaum perempuan terlibat dalam kerusuhan tak terkendali terkait naiknya harga
pangan pada 20 Mei 1795, yang menyebabkan satu pejabat mati terbunuh, perempuan
juga dilarang menghadiri pertemuan politik. Perempuan kemudian bahkan dilarang untuk
berkumpul dalam kelompok lebih dari lima orang.
Larangan-larangan
tersebut memang amat ironis mengingat perempuan Perancis berperan dalam pelbagai
aspek revolusi. Sebagian dari mereka mempertaruhkan nyawanya dengan mengangkat
senjata untuk membela revolusi. Sebagian lagi menyelenggarakan atau berpartisipasi
dalam forum/ klub diskusi politik yang melahirkan pemikiran-pemikiran baru–kegiatan
yang juga berbahaya. Namun, ketika kekuasaan baru hendak menegakkan hak-hak
warga negara, perempuan malah mengalami represi hak-hak sipil dan politik. Dalam
perkembangan selanjutnya, meski ada beberapa perubahan hukum yang mendukung hak
perempuan, perempuan Perancis mengalami represi politik yang amat panjang. Tercatat
bahwa perempuan Perancis baru mendapatkan hak pilih pada 1944 ketika mayoritas
perempuan di Eropa sudah lama menikmatinya. Faktor-faktor apa yang
melatarbelakangi hal ini?
Faktor yang Menghambat
Hak Sipil dan Politik Perempuan
Pemikiran
Enlightenment
Menurut
para pakar, Revolusi Perancis terjadi karena kondisi ekonomi Perancis yang anjlok
akibat salah kelola; perang; utang negara; gagal panen; harga pangan, pajak, dan
ketimpangan yang tinggi, serta tumbuhnya kelas menengah dan berkembangnya
pemikiran Enlightenment (Pencerahan).
Perkembangan
pemikiran Enlightenment, menurut para pakar sejarah, sangat memengaruhi
masyarakat kelas menengah Perancis, termasuk kaum perempuannya yang melihat
pemikiran ini akan membuka peluang bagi kebebasan dan kemajuan mereka. Namun, pemikiran
Rousseau–sang ikon Enlightenment–yang membedakan peran perempuan dan laki-laki telah
menyakinkan para intelektual bahwa peran utama perempuan adalah di lingkup
domestik dikarenakan fungsi reproduksi mereka. Para lelaki pendukung revolusi yang sedang
berupaya mengukuhkan kekuasaan mereka menggunakan pemikiran Rousseau sebagai
justifikasi untuk menolak tuntutan terhadap kesetaraan hak sipil dan politik
perempuan. Untuk meredam tuntutan tersebut, sebuah wacana tentang peran mulia
perempuan sebagai ibu pendidik generasi muda republik diciptakan.
Pertarungan Kekuasaan
Pada
masa Revolusi Perancis, kaum perempuan tidak dilupakan, tetapi secara
sistematis dieksklusikan dari pembaruan karena ada kebutuhan untuk mengamankan
kekuatan-kuatan politik yang ada. Para pendukung negara republik khawatir jika
perempuan diberikan hak politik, sebagian dari mereka akan mendukung Gereja
Katolik yang dekat dengan para elite aristokrat. Sebaliknya, para pendukung
Gereja Katolik juga memiliki kecemasan serupa, bahwa cukup banyak perempuan
akan menyokong negara republik jika memiliki hak politik, selain akan
terganggunya struktur keluarga tradisional. Memang menjadi keputusan praktis
sekaligus taktis saat itu untuk menyingkirkan kaum perempuan yang berpotensi
menjadi lawan politik.
Keterlibatan
perempuan, terutama perempuan kelas bawah, dalam ajang protes masalah pangan
membuat kekuatan potensial yang dimiliki perempuan sebagai kelompok tidak bisa
dipandang sebelah mata. Bersamaan dengn itu, aktivisme politik perempuan kelas menengah
bila dibiarkan akan memungkinkan perempuan mencampuri persoalan-persoalan
politik negara. Intinya, semua ini dipandang kaum laki-laki pendukung republik akan
menantang struktur politik yang hendak mereka bangun. Bersandar pada
argumen-argumen tradisional yang juga didukung oleh Enlightenment, kaum
laki-laki ini menolak keterlibatan perempuan di wilayah publik berdasarkan
klaim bahwa perempuan merupakan mahluk irasional yang tidak cocok mengurus
perihal kenegaraan.
Represi
politik terhadap perempuan memang makin dipandang perlu mengingat kaum petani perempuan
di perdesaan tidak mau merangkul revolusi yang ditawarkan dari perkotaan.
Mereka “hanya” menginginkan harga-harga yang stabil dan kesejahteraan yang
lebih baik, bukan sebuah revolusi sekuler yang menyingkirkan gereja. Kaum
laki-laki pendukung republik berpendapat, “Mereka (perempuan) membangkitkan
sebuah revolusi hanya karena kopi dan gula, maka mereka akan membangkitkan
revolusi lainnya kalau kami tidak waspada” (Gupta, 2014).
Budaya dan Politik
Di
tengah-tengah menyebarnya pemikiran baru, gagasan tentang peran perempuan yang
dibatasi pada wilayah domestik dengan mudah diterima mayoritas masyarakat, baik
oleh laki-laki maupun perempuan. Hal ini dikarenakan nilai-nilai gender yang
membedakan peran laki-laki dan perempuan sudah sedemikian mengakar dalam budaya
dan kehidupan masyarakat Perancis. Tidak pantasnya perempuan memikirkan apalagi
berkecimpung di bidang politik menjadi norma.
Sebenarnya,
nilai-nilai tentang peran perempuan sebagai mahluk domestik tidak sesuai dengan
kenyataan. Sehari-harinya, tidak banyak perempuan yang dapat menghabiskan waktu
di rumah untuk mengurus suami dan anak. Sebaliknya, kaum perempuan bekerja
untuk bertahan hidup. Pekerjaan yang lazim digeluti perempuan kelas bawah di
perkotaan di masa itu adalah sebagai penjaga toko, tukang cuci, dan pekerja
seks. Kuatnya nilai-nilai gender tradisional membuat kenyataan tersebut dengan
mudah terselubungi, apalagi kondisi tersebut tidak menjadi bagian dari
kehidupan kaum elite politik.
Nilai-nilai
yang begitu mengakar dan kesadaran kaum perempuan yang masih sangat lemah akan
haknya membuka jalan mulus bagi politisi dan pejabat laki-laki untuk mencapai
tujuan politiknya dan sekaligus mempertahankan superioritasnya dalam rumah
tangga.
Para
penguasa republik tidak main-main dalam membungkam suara perempuan demi
kekuasaan politiknya. Ketika kelompok Jacobins berkuasa di Perancis pada 1792,
mereka menangkap dan mengeksekusi perempuan-perempuan yang berani melawan. De
Gouges dan Mme. Roland dijadikan contoh nyata. Bagi perempuan siapa pun yang
berani angkat bicara mendukung hak-hak kaumnya, mereka tanpa pamrih akan
dihukum mati! Dan mereka memang memenuhi janji ini.
Salon Perancis abad 18 (Pinterest.com) |
Kelas dan
Pengorganisasian Politik
Bukan
tidak ada laki-laki yang mendukung kesetaraan perempuan. Salah satunya adalah
Marquis de Condorcet yang mengungkapkan keberpihakannya terhadap kesetaraan
perempuan dalam tulisannya di sebuah harian. Setelah penerbitan tulisan
tersebut, terbentuk kelompok Social Circle yang terdiri atas perempuan dan
laki-laki yang hendak mendorong kesetaraan gender. Namun, dukungan terhadap hak
sipil dan politik perempuan sangat terbatas saat itu. Menurut para ahli
sejarah, terpecah-pecahnya kaum perempuan sebagai lapisan masyarakat dan
pengorganisasian yang lemah menyebabkan minimnya dukungan yang dapat dihimpun perempuan
kelas menengah.
Masalahnya,
tidak semua perempuan dari seluruh lapisan masyarakat merasa berkepentingan
terhadap hak sipil dan politik perempuan. Kalau kaum perempuan kelas menengah
menuntut kesetaraan hak, kaum perempuan petani dan kelas bawah lebih melihat
revolusi sebagai jalan keluar untuk mengatasi situasi ekonomi yang sedang
mereka hadapi. Tujuan-tujuan politik kaum perempuan kelas menengah akan
pencapaian kesetaraan hak tidak ada relevansinya dengan kondisi kehidupan
perempuan miskin yang bergelut menyambung hidup. Perbedaan ini pun menghalangi pengorganisasian
perempuan sebagai kelompok yang dapat menjadi sebuah kekuatan politik yang
memengaruhi keputusan publik.
Sementara
itu, tekanan untuk mematuhi nilai-nilai gender mengakibatkan kaum aktivis perempuan
kelas menengah menuntut kesetaraan yang masih separuh hati: dengan kesetaraan di
wilayah publik tidak berarti perempuan akan meninggalkan peran domestik mereka.
Represi budaya dan tekanan politik akhirnya melemahkan tuntutan para aktivis
perempuan kelas menengah terhadap kesetaraan.
Patriotisme
Patriotisme
dan nasionalisme yang memandang kepentingan negara harus diutamakan merupakan
faktor lain yang turut menunda hak politik perempuan Perancis pasca-revolusi. Ketika
kekaisaran Napoleon jatuh dan negara Republik Ketiga masih labil (1870), hak
politik perempuan ditunda karena ada isu-isu genting yang dianggap perlu
didahulukan. Sebenarnya, di bawah Komune Paris pada 1871, perempuan pernah
diberikan hak politik, tetapi hak ini dicabut setelah komune berakhir. Pada
saat dan pasca-Perang Dunia I pembahasan tentang hak politik perempuan digeser
oleh agenda prioritas, yakni upaya untuk memenangkan perang dan kemudian fase
pemulihan pasca-perang.
Faktor Pendorong
Tercapainya Hak Politik Perempuan
Pada
masa Perang Dunia I dan II, perempuan sejenak merasakan kemandirian ekonomi karena
negara mendorong perempuan untuk memasuki sektor kerja. Selama perang, warga
negara perempuan digiring untuk mengambil alih pekerjaan yang biasa dilakukan
laki-laki di masa damai. Pada Perang Dunia II perempuan bahkan turun ke medan
perang.
Namun,
perempuan disingkirkan kembali ke wilayah domestik setelah perang (Dunia I dan
II) usai. Tidak semua perempuan sepenuhnya rela “kembali ke rumah” sehingga setelah
Perang Dunia I, persaingan kerja antara perempuan dan laki-laki menciptakan
ketegangan antarjenis kelamin.
Karena
sempat mengecap kemandirian ekonomi, pengalaman di masa kedua perang dunia turut
membangkitkan kesadaran kaum perempuan akan hak-hak ekonomi maupun politiknya. Perjuangan
untuk memperoleh kesetaraan terus berlanjut setelah Perang Dunia I hingga
akhirnya hak pilih dan hak untuk memegang jabatan politik diperoleh perempuan
Perancis pada 1944.
Jika
di satu sisi perang memperlambat pemenuhan hak politik perempuan, di sisi lain,
keterlibatan perempuan dalam mendukung negara selama perang telah membangkitkan
kesadaran gender perempuan. Meskipun demikian, ada pandangan bahwa bukan
tekanan dari kelompok-kelompok perempuan yang terutama menyebabkan negara mensahkan
hak politik perempuan. Hak tersebut dipenuhi karena pada masa itu di mayoritas
negara Eropa perempuan sudah memiliki hak pilih dan Perancis tidak ingin tampak
tertinggal.
Paradoks Revolusi
Sebagaimana
negara-negara lain di bawah nasionalisme, saat Revolusi Perancis, kekuatan
negara sebagai sebuah nasion menjadi perhatian utama. Tatanan gender yang
tradisional untuk penguatan nasion terus dipertahankan; fungsi perempuan adalah
untuk mencetak keturunan bangsa serta sebagai pendidik generasi muda dan penjaga
budaya maupun moral bangsa. Fungsi keibuan perempuan terus dimuliakan meski
setelah revolusi banyak perempuan yang harus bekerja di tambang dan pabrik
tekstil.
Peristiwa-peristiwa
yang terjadi selama sepuluh tahun revolusi dan pasca-Revolusi Perancis menjadi
stimulus bagi meluasnya kesadaran gender masyarakat Perancis. Lambat laun,
mulai dari abad 18 dan 19, perempuan Perancis mendapatkan hak untuk menggugat
cerai (yang sempat dicabut dan kemudian dipulihkan kembali), hak atas pendidikan,
dan hak atas kepemilikan harta, serta terakhir, hak politik yang mereka peroleh
pada akhir Perang Dunia II.
Meski
faktor budaya berperan besar dalam menghalangi pencapaian kesetaraan gender di
Perancis, faktor politik tidak kalah penting. Pada perjalanannya, revolusi ini
mengingkari nilai-nilai yang dibawanya dan sayangnya diakhiri oleh kepemimpinan
absolut Napoleon Bonaparte (1799–1870). Inilah kisah paradoks revolusi
pembebasan yang memakan korban ribuan masyarakat sipil dan berakhir di tangan
kekuasaan otoritarian.
Namun
bagaimana pun, Revolusi Perancis tetap merupakan peristiwa yang begitu penting dalam
sejarah demokrasi. Pertumpahan darah dan pertarungan kekuasaan yang mewarnai
Revolusi Perancis telah mengantarkan manusia pada era modern yang berasaskan
demokrasi. Tak dapat dipungkiri bahwa Revolusi Perancis bukan hanya merupakan
kisah sejarah yang sarat dengan pelajaran yang dapat dipetik, tetapi revolusi
ini masih memiliki relevansi bagi perjuangan demokrasi hingga saat ini.
“With the first
act of cruelty committed in the name of revolution, with the first murder, with
the first purge and execution, we have lost the revolution.” (Kate Millett, 1974).
Sumber:
Borne, Elena (2016) ‘Femmeinists: French
women’s struggle for suffrage at the ballot, at home, and on the front lines
from 1880 to 1965.’ Washington State
University [daring] <https://history.libraries.wsu.edu/spring2016/2016/01/18/feminism-in-france/>
[16 September 2017].
Gupta,
Sonali (2014) ‘Liberty for All? An Exploration of the Status of Women in
Revolutionary France.’ Primary Source
V (I) [daring] <http://www.indiana.edu/~psource/PDF/Current%20Articles/Fall2014/3%20Gupta%20Fall%2014.pdf>
[4 September 2017].
Historywiz (2008) Women and the French Revolution [daring]
<http://www.historywiz.com/frenchrevwomen.html> [22 Agustus 2017].
Lee,
Shannon (n.d.) Feminism and the French Revolution. Tau Sigma Journal of
Historical Studies Vol. XXI [daring] <https://www.oc.edu/dotAsset/6a592d16-7e38-4895-80a0-725db224c24b.pdf>
[4 September 2017].
Lewis, Jone Johnson (2017) Women and the French Revolution. Thought
Co. [daring] <https://www.thoughtco.com/women-and-the-french-revolution-3529110>
[21 Agustus 2017].
Liberty, Equality,
Fraternity, Exploring the French Revolution (n.d.) Women and the Revolution [daring]
<https://chnm.gmu.edu/revolution/chap5a.html> [21 Agustus 2017].
Mulder, Eva dan Eric
Krebbers (2002) ‘A Feminist Criticism on Nationalism.’ e
Fabel van de illegaal 54/55 Gebladerte
Archief [daring] <http://www.doorbraak.eu/gebladerte/30049v01.htm>
[10 Oktober 2017].
Najeeb, Abdul (2014)
‘Women’s Roles and Contribution in and to the French Revolution.’ Idea of History [daring]
<http://idea-of-history.blogspot.com/2014/03/womens-roles-and-contributions-to.html>
[22 Agustus 2017].
Offen, Karen (n.d,) Women, Citizenship, and Suffrage in France
Since 1789 [daring] <http://www.indiana.edu/~paris10/ParisOSS/Day10_Sex_and_Gender/d7_Offen.html>
[16 September 2017].
Ross, Stew (2014) The Women of the French Revolution. The
Freelance History Writer [daring] <https://thefreelancehistorywriter.com/2014/07/11/the-women-of-the-french-revolution-a-guest-post-by-stew-ross/>
[22 Agustus 2017].
Sophia’s Blog (2014) Women’s
Rights and the French Revolution [daring]
<http://sophiad.inquiryhub.org/rights-of-women/> [22 Agustus 2017].
Thompson,
Tiffany R. (2015) ‘Gendered Nations: The French Revolution and Women’s
Political Participation.’ UCI Department
of History [daring] <http://escholarship.org/uc/item/42n1b201> [4
September 2017].