Identity
Politics, Multiculturalism, and Supremacy
In
the US and Indonesia
Politik
identitas sepertinya menjadi buzzword
di media internasional sejak kemenangan Donald Trump sebagai presiden di
Amerika Serikat, seseorang yang disebut sebagai simbol politik identitas supremasi
kulit putih. Pada saat yang bersamaan, di tingkat nasional, politik identitas
juga disebut-sebut dalam analisis media terhadap intoleransi yang mewarnai
iklim politik Indonesia saat ini. Politik identitas yang awalnya dikembangkan
untuk memberdayakan kelompok-kelompok marginal, kini muncul sebagai ancaman
terhadap keberagamaan.
Politik
Identitas
Gerakan
hak sipil tahun 1960-an di Amerika Serikat merupakan masa yang menandai awal
munculnya politik identitas sebagai diskursus dan aktivisme politik. Politik
identitas menggambarkan orientasi dan aktivitas politik sebuah kelompok yang
terbentuk dari karakteristik-karakteristik dan pengalaman sosial yang serupa
antaranggotanya, yakni sebagai kelompok yang terpinggirkan atau mengalami
berbagai bentuk represi. Marginalisasi dan represi ini bisa berbasis kelas,
etnis, ras, agama, gender, orientasi seksual, atau lainnya, dan bisa merupakan
kombinasi dari beberapa elemen tersebut.
Politik
identitas bertujuan untuk memberdayakan kelompok-kelompok sosial yang
termarginalisasi sehingga mereka dapat memperjuangkan kepentingan mereka yang
berhadap-hadapan dengan kelompok mayoritas atau dominan.
Salah
satu contoh politik identitas adalah dalam gerakan feminisme. Politik identitas
sejak 1970-an sudah menjadi bagian penting dari pemikiran feminis. Ia muncul
sebagai kritik terhadap marginalisasi perempuan-perempuan nonkulit putih di
dalam gerakan perempuan yang berkembang pada era tersebut. Marginalisasi ini
terjadi karena ada gerakan-gerakan feminis yang terutama mengusung isu dan
kepentingan perempuan heteroseksual kelas menengah-kulit putih dan mengabaikan
suara dan pengalaman perempuan dari kelas, etnik, ras, dan orientasi seksual lainnya.
Istilah politik identitas ini kemudian digunakan dalam teori feminis untuk
mengakui pengalaman opresi yang berbeda-beda yang dialami perempuan dari
kelompok-kelompok berbeda.
Namun,
politik identitas sebagai strategi gerakan sering mendapat kritik dari berberapa
kalangan karena dianggap memecah-belah kepentingan dan solidaritas berbagai
unsur yang harusnya bersatu melawan kekuatan yang lebih besar. Misalnya, politik
identitas dipandang tidak efektif dalam upaya menumbangkan kapitalisme.
Politik
identitas yang sedang mendapat sorotan akhir-akhir ini bukanlah yang mendukung
kemajemukan, tetapi yang menyokong pemusatan kepada satu kelompok. Inilah yang dikatakan
sedang terjadi di AS dengan bangkitnya politik identitas kulit putih dan di
Indonesia dengan makin marak berkembangnya politik identitas agama.
The Other
Ketika
seseorang mengidentifikasi dirinya dengan kelompok tertentu, maka secara
bersamaan ia akan melihat kelompok lain sebagai the Other, atau sebagai mereka yang lain dengan saya/kami. Muncullah
dikotomi “kami” dan “mereka”. Maka, sebagai contoh, muncullah dikotomi “kulit
putih dan nonkulit putih” (di A.S), “Muslim dan non-Muslim” (di Indonesia),
“laki-laki dan perempuan” (bisa dibilang di mana-mana). Dikotomi ini bersifat
hierarkis. Kelompok yang mempunyai akses terhadap sumber-sumber kekuasaan
berada pada posisi atas hierarki ini dan bisa menerjemahkan
kepentingan-kepentingannya ke dalam kekuatan politik untuk memengaruhi
kebijakan atau menduduki posisi politik tertentu. Hal ini pun memengaruhi
pembentukan kelompok mayoritas dan minoritas. Kelompok-kelompok minoritas
dilabel sebagai mereka “yang Lain” atau the
Other.
Ketika
identitas kelas, etnik, ras, agama, gender, atau lainnya digunakan sebagai
legitimasi untuk kekuasaan, maka berbagai bentuk represi akan dikenakan pada
kelompok-kelompok dengan identitas lainnya. Oleh karena itu, politik identitas
bisa juga dimanfaatkan untuk mempertahankan atau menguatkan kedudukan kelompok mayoritas
atau dominan terhadap kelompok-kelompok yang secara historis terpinggirkan.
Mayoritas
yang Tertekan?
Dalam
berbagai analisis media, kemenangan Trump dikaitkan dengan politik identitas kulit
putih yang bangkit kembali di A.S. sebagai respons masyarakatnya terhadap
masalah kesenjangan ekonomi dan ketidakpuasan politik serta isu-isu keamanan. Berbagai
analisis melihat bahwa multikulturalisme yang sudah berkembang sedemikian pesat
di A.S. telah menjadikannya sebagai nilai yang dominan, hingga menyingkirkan
nilai-nilai lama yang diasosiasikan dengan budaya masyarakat kulit putih. Lebih
jauh lagi, mereka yang hidup di kota-kota besar merasa makin terhempit oleh
persaingan ekonomi dengan berbagai etnik minoritas lainnya.
Kebijakan-kebijakan
Trump yang berbasis pada politik identitas kulit putih dan eksklusi kelompok
minoritas dianggap pendukungnya akan menyelamatkan warga kulit putih dari
keterpurukan ekonomi dan memperkuat keamanan negara. Namun, lebih dari itu,
kebijakan-kebijakan Trump diharapkan akan mendorong hidupnya kembali
nilai-nilai lama masyarakat A.S. yang pernah dominan pada suatu masa, tetapi
telah cukup lama mengalami represi di bawah nilai-nilai yang dihasilkan
ideologi neo-liberal.
Kaum
perempuan kelas menengah kulit putih yang sebelumnya menjadi pendukung Hillary
Clinton bahkan merasa lebih aman bersatu di bawah payung ras daripada payung
gender, meski di bawah pimpinan seorang presiden yang berpandangan sangat rasis
dan seksis serta melecehkan kaum perempuan sekalipun.
Sebagian
dari pendukung Trump juga memandang bahwa nilai-nilai agama yang mereka yakini
akhir-akhir ini makin terpinggirkan, sementara mayoritas-kulit putih di
kota-kota kecil merasa menjadi minoritas di tengah-tengah multikulturalisme
masyarakat A.S. Beberapa media A.S. juga melaporkan meningkatnya hate crime terhadap kelompok etnik/agama
minoritas di negara itu yang dihubungkan dengan kampanye Trump.
Tampaknya
ada kemiripan antara apa yang terjadi di A.S. dengan apa yang sedang dialami di
Indonesia. Menarik untuk melihat bahwa di Indonesia pun, keberagaman yang sudah
cukup lama ditampilkan pemerintah sebagai identitas bangsa Indonesia, telah
merepresi nilai-nilai yang melekat pada kelompok mayoritas agama. Meski Islam
merupakan agama mayoritas, gagasan-gagasan syariah Islam banyak mengalami represi
karena disubordinasikan terhadap nilai-nilai tentang kebinnekaan yang selama
ini diusung pemerintah.
Glodok, Jakarta's Chinatown in the 1950s (Pinterest) |
Demokratisi
dan desentralisasi yang berkembang pasca-Reformasi telah membuka peluang bagi
berbagai kelompok kepentingan, termasuk yang berbasis agama, untuk memengaruhi proses
politik. Tak dapat dipungkiri, politik identitas agama yang turut meramaikan
pertarungan politik di Indonesia saat ini mengungkap antagonisme ras dan agama
yang selama ini terselubungi oleh retorika politik bhinneka tunggal ika.
Di
A.S. dapat dikatakan Obama adalah simbol dari the Other. Setelah sekian lama berdiri sebagai negara demokrasi,
baru sekali seorang laki-laki kulit hitam menduduki posisi tertinggi A.S. Hal
yang merupakan terobosan bersejarah ini, oleh sebagian masyarakat A.S. dirasakan
sebagai gangguan terhadap status quo. Sementara itu, di Indonesia, terpilihnya
seorang gubernur DKI–Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)–dari kelompok minoritas ras
dan agama tentunya merupakan representasi dari the Other yang selama ini dieksklusikan dari arena politik.
Namun,
penolakan terhadap kepemimpinan Ahok tidak selalu didasarkan pada alasan ras
dan agama, misalnya, ada yang tidak mendukungnya karena berpendapat bahwa Ahok
tidak berpihak kepada masyarakat miskin. Di sisi lain, bagi mereka yang
memiliki kepentingan politik, kebijakan-kebijakan Ahok dianggap mengancam
tatanan lama dan konstelasi kekuasaan. Bukanlah suatu kebetulan kalau bersamaan
dengan pandangan kedua, simbol-simbol the
Other dan dikotomi Muslim-Non-Muslim serta ketegangan antarras tampak
menguat dalam masyarakat Indonesia.
Kebijakan
Pengeksklusian
Aspek
kunci dalam praktik politik identitas adalah pengekslusian kelompok-kelompok di
luar kelompok mayoritas atau dominan. Pengekslusian terhadap kelompok tertentu
lazim disebabkan oleh perebutan sumber daya-sumber daya penting dalam
masyarakat. Pengekskusian ini mengakibatkan marginalisasi kelompok tereksklusi
dari berbagai bidang kehidupan dan institusi formal. Ketika mencapai puncaknya
atau dipicu oleh sebuah konteks, politik pengeksklusian ini bisa mendorong tindak
kekerasan, seperti pembunuhan dan kekerasan seksual. Sebagai contoh, A.S.
dikenal memiliki sejarah panjang pengeksklusikan masyarakat kulit hitam yang diwarnai
berbagai bentuk kekerasaan.
Bila
rencana kebijakan untuk membatasi imigran sebagaimana yang ditawarkan Trump
jadi diwujudkan, ini bukanlah kebijakan antiimigrasi yang pertama di A.S.
Negara ini sudah pernah memberlakukan sebuah kebijakan eksklusi masyarakat Cina
yang tertuang dalam The Chinese Exclusion Act of 1882. Kebijakan ini
menghentikan penerimaan imigran dari Cina ke California karena telah berujung
pada persaingan ekonomi antara penduduk kulit putih dan Cina. Sentiment anti-Cina
makin memanas pada 1870-an yang ditandai oleh pembakaran dan hukuman mati tanpa
pengadilan terhadap imigran Cina yang dilakukan masyarakat.
(Pinterest) |
Dalam
konteks sejarah Indonesia, sebenarnya pogrom terhadap masyarakat Tionghoa sudah
tercatat sejak masa Hindia-Belanda, yakni dalam peristiwa “Geger Pecinan” pada
1740, saat terjadi pembantaian terhadap masyarakat Tionghoa yang selanjutnya
menegaskan dikotomi pribumi-Tionghoa. Indonesia pascakemerdekaan diwarnai oleh
sejarah panjang pengeksklusian dan segregasi etnis Tionghoa (baik budaya,
agama, maupun status hukum). Etnis Tionghoa telah mengalami berbagai bentuk
kekerasan, seperti ketika menjadi target saat penghancuran PKI padai 1965 dan
pada Kerusuhan dan Perkosaan Mei 1998.
Isu
terkait pemimpin non-Muslim dan nonpribumi yang mengemuka saat ini tentunya
tidak lepas dari sejarah panjang diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa di
Indonesia. Sentiment rasial merambah ke wilayah keyakinan agama dan berdampak
pada eksklusi masyarakat Tionghoa dari institusi-institusi politik. Semua ini
tidak bisa dilepaskan dari masalah-masalah kesenjangan dan ketidakpuasan
masyarakat.
The Fear of Diversity
Kehadiran
mereka “yang Lain” yang diberi label Barat, nonkulit putih, Muslim, non-Muslim,
homoseksual, ateis, dan lain sebagainya, semuanya bisa membangkitkan apa yang disebut sebagai fear of diversity, yakni rasa takut yang muncul terhadap
keberagaman ketika nilai-nilai kelompok mayoritas atau dominan tidak menjadi
nilai utama karena berbaur dengan nilai-nilai lain. Makin mengaburnya
sekat-sekat sosial-budaya antarnegara dan tingginya kemajemukan di dalam satu
negara telah menghasilkan rasa cemas terhadap dominasi perbedaan. Isu keamanan
negara beberapa tahun terakhir dan kondisi ekonomi yang kian mengecewakan makin
meningkatkan kecemasan tersebut.
Di
A.S. kondisi di atas melahirkan keinginan untuk kembali ke nilai-nilai lama
yang pernah dimiliki masyarakat A.S. sebelum multikulturalisme menggeser
berbagai nilai lama dan dianggap menjadi penyebab berbagai masalah ekonomi,
sosial, dan keamanan. Trump–meski sebuah figur yang kontroversial yang diduga
sarat dengan kepentingan pribadi–dengan politik identitas dan eksklusinya, dianggap
sebagian masyarakat kulit putih A.S. dapat memehuhi keinginan mereka itu. Di
Indonesia, meski tidak bisa dibilang mayoritas, ada kelompok-kelompok yang bereaksi
dengan menunjukkan keinginan menyelamatkan nilai-nilai Islami dan menegakkan semacam
supremasi agama. Ada pula kelompok-kelompok kepentingan politik yang tentunya tidak
melewatkan peluang emas ini dan segera memanfaatkannya untuk melakukan
mobilisasi-mobilisasi politik.
Oleh
karena itu, politik identitas yang awalnya digunakan untuk memberdayakan
kelompok-kelompok marginal, juga bisa mendorong rasa supremasi kelompok. Jika
diiringi kekuatan politik, supremasi kelompok ini dapat digunakan untuk melegitimasi
dominasi sebuah kelompok terhadap kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan
budaya masyarakat. Politik identitas berbasiskan supremasi kelompok dalam
bentuknya yang paling berbahaya adalah yang melandasi gerakan-gerakan
nasionalisme ekstrem atau fasisme dengan pemerintahan yang totaliter,
sebagaimana kepercayaaan terhadap supremasi ras asli Jerman digunakan untuk menyokong
kekuasaan rezim fasis Hitler.
Pembahasan
mengenai supremasi kelompok ini mengingatkan pada perjuangan Sophie Scholl (21
tahun), mahasiswa Jerman dan anggota gerakan The White Rose–sebuah gerakan
anti-Nazi–yang pada 1943 dituduh melakukan makar.
Perjuangan
Sophie–seorang perempuan penganut Lutheran yang taat, yang menentang kekuasan
Nazi Jerman serta pembunuhan terhadap ras Yahudi–telah berakhir di bawah
guillotine. Namun, pesan yang dibawakan kisah ini masih sangat relevan dan kian
berharga, yakni bahwa supremasi ras dan agama tidak boleh mendapat pembenaran karena
akan menghasilkan berbagai bentuk represi dan penindasan dengan
melegitimasi kekuasaan satu kelompok terhadap kelompok lainnya.
Kita
harus mewaspadai politik identitas yang berbasiskan supremasi kelompok karena
hal ini akan menanamkan kebencian antarmanusia pada generasi mendatang. Tak
dapat dipungkiri, supremasi kelompok merupakan cikal bakal kekerasan serta kejahatan
terhadap kemanusiaan berbasis SARA dan gender.
Sumber
Asia-Pacific
Human Rights Information Center (2006) Discrimination against Ethnic Chinese in
Indonesia [dalam jaringan]
<http://www.hurights.or.jp/archives/focus/section2/2006/03/discrimination-against-ethnic-chinese-in-indonesia.html>
[29 Desember 2016].
Al-Arian, Sami (2016) How Trump Won: The
Rise of America’s False Prophet Middle East Eye [dalam jaringan]
<http://www.middleeasteye.net/essays/how-trump-won-rise-america-s-false-prophet-265700153>
[26 November 2016].
Ertel, Jacob (2015) Identity, Inc.:
Liberal Multiculturalism and the Political Economy of Identity Politics. The
Hampton Institute [dalam jaringan]
<http://www.hamptoninstitution.org/identity-incorporated.html#.WGTB8lzGsnp>
[13 Desember 2016].
Knowles, Eric D. and Linda R. Tropp
(2016) ‘Donald Trump and the Rise of White Identity in Politics.’ The
Huffington Post [dalam jaringan]
<http://www.huffingtonpost.com/the-conversation-us/donald-trump-and-the-rise_b_12584616.html>
[18 Desember 2016].
Mockaitis, Tom (2016) ‘The Politics of
Exclusion.’ The
Huffington Post, The Blog [dalam jaringan]
<http://www.huffingtonpost.com/tom-mockaitis/the-politics-of-exclusion_b_9287048.html>
[13 Desember 2016].
Odessa, Rebecca
(2016) Sophie Scholl: The German Who
Refused To Be a Nazi. The Wisdom Daily [dalam jaringan]
<http://thewisdomdaily.com/german-refused-nazi/> [28 Desember 2016].
Stanford Encyclopedia of Philosophy (2016) Identity Politics [dalam jaringan] <https://plato.stanford.edu/entries/identity-politics/> [8 Januari 2017].
The Economist
(2016) Crying Blasphemy in Jakarta, The
Persecution of a Christian Mayor in Indonesia [dalam jaringan]
<http://www.economist.com/news/asia/21712161-countrys-reputation-tolerance-now-doubt-persecution-christian-mayor>
[22 Desember 2016].
West, Cornel (2016) ‘Goodbye, American Neoliberalism.
A New Era is Here.’ The Guardian
[dalam jaringan] <https://www.theguardian.com/commentisfree/2016/nov/17/american-neoliberalism-cornel-west-2016-election?CMP=fb_gu>
[26 November 2016].
Wikipedia (2016)
Discrimination against Chinese
Indonesians [dalam jaringan] <https://en.wikipedia.org/wiki/Discrimination_against_Chinese_Indonesians>
[27 Desember 2016].
Wikipedia (2016) Identity Politics [dalam jaringan]
<https://en.wikipedia.org/wiki/Identity_politics> [24 Desember 2016].
Hopeful and Relieved,
Conservative White Evangelicals See Trump’s Win as Their Own’ The Washington Post [dalam jaringan]
<https://www.washingtonpost.com/news/acts-of-faith/wp/2016/11/15/hopeful-and-relieved-evangelicals-see-trumps-win-as-their-own/?postshare=61481294872737&tid=ss_fb&utm_term=.cc7852ce82fd>
[10 Desember 2016].
Zevallos,
Zuleyka (2011) ‘What is Otherness?’ The
Other Sociologist [dalam jaringan] <https://othersociologist.com/otherness-resources/> [9
Desember 2016].