Anarchist Education Society |
Seiring
dengan perubahan yang terjadi akibat Revolusi Industri Keempat, institusi
pendidikan perlu melakukan penyesuaian agar dapat mempersiapkan tenaga kerja
yang memiliki keterampilan relevan bagi sektor kerja masa depan. Itulah salah
satu kesimpulan survei World Forum (2016). Namun, menyiapkan lulusan yang
memiliki keterampilan teknis yang tepat saja tidak cukup. Para pekerja masa
depan harus menganut nilai-nilai yang mendukung suatu era teknologi dan
komunikasi yang berkembang pesat dan mengaburkan batas-batas wilayah. Pendekatan
seperti apa yang perlu diterapkan oleh institusi pendidikan agar sekolah-sekolah
dapat memenuhi kebutuhan masa depan?
English Synopsis
An Anarchist Approach to Education and Its Relevance for the Future Work Sector
There has been a lot of buzz in the media lately on how education is not catching up with the progress of technology and that, as a consequence, schools will not be able to supply the work sector with a workforce that has the required skills.Anarchist principles, such as cooperation, equality, social justice, and mutual aid align with the skills needed for the future work sector where collaboration, participation, non-hierarchy, and tolerance are a key part of the diverse work environment. Anarchist education—which ideas began in the 19th century and schools established in the 20th century—believe that the learning process should not be confined to the walls of the classroom and that children should explore topics of their interest without a set of subjects imposed upon them. All of these encourage innovative, critical thinking, and complex problem-solving abilities—abilities considered vital for the future work sector. Thus, an Anarchist approach to education applied in schools can reduce the gap between education and developments in the work sector.However, Anarchism is critical of how the state uses education and schools to serve its economic and political purposes, thus resulting in children being the object of education. Therefore, whist an Anarchist approach to education can address future work-related issues, using it will shift education from being merely a tool of the state to an institution that will foster change for global equality.
Pendidikan vs Progres
Beberapa
lembaga internasional melihat bahwa sistem pendidikan yang dikembangkan saat
ini oleh kebanyakan negara terlalu menekankan pada pencapaian akademis. Mereka
mengimbau bahwa sistem seperti ini akan gagal mengejar kemajuan perkembangan
teknologi. Sebagaimana dinyatakan dalam laporan World Forum (2016), keunggulan
akademik bukanlah hal yang paling utama dibutuhkan oleh pekerja masa depan.
Kreativitas,
fleksibilitas, dan independensi berpikir merupakan karakter pekerja yang oleh
para pengamat pendidikan dipandang penting untuk sektor kerja masa depan. Soft skill seperti kepemimpinan,
keinginan belajar, serta kemampuan beradaptasi, bekerja sama, dan memecahkan
masalah rumit adalah hal yang perlu dimiliki generasi berikutnya. Sementara itu,
aspek-aspek tersebut tidak tercermin dari skor PISA. Tak mengherankan jika penilaian
kemajuan pendidikan di suatu negara yang diukur dari skor PISA dikhawatirkan
akan membuat institusi pendidikan dan sekolah tidak mampu mengembangkan siswa
yang memiliki keterampilan sebagaimana dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja pada
masa mendatang.
"Institusi pendidikan adalah institusi yang cenderung konservatif dan lamban mengikuti perubahan-perubahan di sekitarnya. Kondisi ini tentunya tidak lepas dari pengaruh lingkungan politik dan kepentingan-kepentingan terkait kekuasaan yang berada di belakangnya."
Selain
itu, keberadaan teknologi telah mampu menghubungkan manusia dalam sekejap,
mengaburkan berbagai pemisahan yang dahulu ada dan membuka sekat-sekat geografis
dan budaya. Sebuah mindset dan
perspektif yang terbuka terhadap perbedaan dan keberagaman menjadi penting
untuk menghadapi masa depan. Pengembangan nilai-nilai toleran terutama di
kalangan generasi muda menjadi amat relevan.
Badan
PBB untuk pendidikan, sains, dan budaya, UNESCO pada 2017, mengidentifikasi
lembaga pendidikan sebagai salah satu institusi yang berperan penting dalam
meningkatkan toleransi. Dengan demikian, perbaikan pendidikan perlu mengembangkan
materi ajar yang selaras dan mendukung nilai-nilai toleran.
Namun,
institusi pendidikan adalah institusi yang cenderung konservatif dan lamban
mengikuti perubahan-perubahan di sekitarnya. Kondisi ini tentunya tidak lepas
dari pengaruh lingkungan politik dan kepentingan-kepentingan terkait kekuasaan
yang berada di belakangnya. Sebagai contoh, sebuah studi di Indonesia (PPIM UIN
Syarif Hidayatullah, 2018) menemukan bahwa 57 persen guru di Indonesia memiliki
opini intoleransi (Tempo.co, 2018). Berkembangnya opini semacam ini dapat
diduga sebagai dampak kondisi sosial-politik di Indonesia yang akhir-akhir ini cenderung
tidak mendukung toleransi. Kenyataan ini tentunya menjadi tantangan bagi institusi
pendidikan untuk menjalankan perannya.
Menghadapi
sifat institusi pendidikan yang cenderung konservatif, perubahan yang berarti
pada bidang pendidikan memerlukan sebuah ‘’pendekatan kritis”. Dengan kemajuan
zaman, kritik-kritik yang sebenarnya sudah lama dilontarkan terhadap institusi
pendidikan terasa makin relevan.
Pendekatan Anarkis
Sebuah
pendekatan kritis terhadap pendidikan yang sudah lama berkembang adalah
pendekatan yang berasal dari filsafat politik Anarkisme. William Godwin dan Max
Stirner adalah tokoh-tokoh Anarkis yang mengawali perhatian Anarkisme terhadap
pendidikan pada abad 19. Berbagai sekolah yang berlandaskan atau mengambil beberapa
prinsip anarkisme telah berdiri sejak abad 20 di berbagai belahan dunia, sering
disebut dengan nama “Sekolah Modern” (Modern School). Sekolah-sekolah ini
mengambil model Sekolah Modern yang dipelopori tokoh pendidikan dan Anarkis
asal Spanyol, Francisco Ferrer. Para Anarko-feminis yang memelopori kesetaraan
gender dalam pemikiran Anarkisme, seperti Emma Goldman dan Voltairine de Cleyre,
juga turut mendirikian Sekolah Modern lainnya.
Anarchism and Citizen Sociolinguistics |
Namun,
karena pendekatan yang melawan arus dan lingkungan sosial-politik yang tidak
kondusif bagi kehadirannya, tak banyak dari Sekolah Modern yang mampu bertahan.
Meskipun demikian, dengan tersebarnya pemikiran Ferrer, telah muncul kemudian
berbagai sekolah alternatif yang secara langsung maupun tidak langsung,
disadari atau tidak, dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diwariskan Ferrer.
Sejak
ada kasus-kasus kelompok Anarkis yang bergerak dengan menggunakan terorisme dan
kekerasan sebagai strategi, Anarkisme menjadi sinonim dengan kaos dan kekerasan.
Didukung oleh citra negatif yang dibangun media arus utama dan pemerintah, semua
ini menumbuhkan kesalahpahaman mengenai Anarkisme sebagai sebuah pemikiran
politik–hal yang dipatut disayangkan.
Anarchism berasal dari bahasa
Yunani, anarchos yang berarti tanpa
otoritas (without authority).
Anarkisme merupakan filsafat politik yang memandang bahwa manusia akan lebih
baik tidak diatur oleh negara. Masyarakat dipandang dapat mengatur dirinya
sendiri berdasarkan prinsip kerja sama, nonhierarki (kesetaraan), keadilan
sosial, partisipasi masyarakat, dan saling membantu (mutual aid) (DeLeon, 2008). Prinsip inilah yang juga melandasi pemikiran Anarkis terhadap pendidikan. Ferrer menurunkan prinsip-prinsip tersebut ke
dalam Sekolah Modern menjadi prinsip-prinsip: berpegang pada akal sehat dan
bukan doktrin, kemampuan untuk mengatur diri sendiri, kebebasan memilih,
kesetaraan, dan penghormatan dan rasa percaya terhadap anak (Gribble, 2018: 187−188).
Pendekatan Anarkis terhadap pendidikan menjadi kian relevan dalam konteks
perubahan-perubahan dunia yang menghadapi kemajuan teknologi pesat dan kemajemukan.
Pendekatan Anarkis terhadap pendidikan tidak hanya menjawab tantangan sektor
kerja masa depan, tetapi dengan prinsip-prinsipnya, pendekatan ini dapat
mengubah masa depan pendidikan.
Pekerja masa depan
Berikut
adalah keterampilan yang dibutuhkan oleh pekerja masa depan, sebagaimana menjadi
bahasan dalam berbagai media, dan bagaimana pendekatan Anarkis terhadap
pendidikan dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan tersebut.
1.
Berpikir analitis dan kritis serta memecahkan masalah
Sebagaimana
dijelaskan Noam Chomsky, salah satu tokoh Anarkis modern, seharusnya sekolah
merupakan tempat bagi anak untuk menjelajah dan bukan berkutat dengan buku
teks. Menurutnya, sains, matematika, dan membaca merupakan pelajaran yang
bermanfaat bagi anak didik tetapi bukan merupakan tujuan utama pendidikan.
Pendidikan yang memfasilitasi anak untuk menjelajahi berbagai topik dan tidak
didikte oleh sebuah kurikulum yang menyabdakan apa yang benar dan apa yang
salah akan mengembangkan nalar seorang anak dan membuatnya mampu berpikir
analitis dan kritis sehingga dapat menyelesaikan masalah-masalah yang kompleks.
2.
Kreatif, inovatif, dan independensi dalam berpikir
Ruang
kelas saat ini berjalan berbasis pada hierarki dan dikotomi seperti guru-murid,
benar-salah, baik-buruk, pandai-bodoh, laki-laki-perempuan, dan sebagainya–hal
yang memaksa anak untuk menerima sebuah otoritas dan standar nilai. Norma
kepatuhan ini beserta standar akademis yang ditetapkan institusi pendidikan (seperti
ranking yang mengurutkan siswa
berdasarkan standar kepandaian) tidak saja menghambat kreativitas tetapi juga
merendahkan harga diri (devalue)
anak-anak yang tidak mudah beradaptasi pada tuntutan standar tersebut.
Kepandaian
yang diukur berdasarkan struktur nilai yang ditetapkan dari pusat dan tidak
besentuhan langsung dengan pengalaman anak-anak akan mengasingkan anak didik yang
tidak menjadi bagian dari proses penentuan standar tersebut. Mereka tidak
diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan terhadap sebuah proses yang
akan menentukan nasib dan masa depan mereka. Sistem pendidikan semacam ini bisa
saja menghasilkan anak-anak yang bisa lulus dengan baik, tetapi belum tentu memiliki
independensi dalam berpikir dan kemampuan untuk berinovasi. Pendekatan Anarkis
terhadap pendidikan mendorong anak untuk menjelajahi hal-hal sesuai minatnya,
memperkenalkan anak pada berbagai sudut pandang dalam melihat satu hal, dan
memberi ruang cukup untuk perbedaan. Hal ini diyakini akan membangun anak-anak
yang mampu berpikir out of the box,
kreatif, dan inovatif.
3.
Kolaborasi, partisipasi, dan kesetaraan
Kerja kelompok adalah ciri utama model
bekerja pada masa depan. Dalam model ini, menurut para pengamat, peran otoritas
yang tersentralisasi tidak utama dan yang lebih menentukan adalah kepemimpinan
tim yang merupakan kepemimpinan horizontal. Siapa yang menjadi pemimpin tim
ditentukan oleh siapa yang memiliki keahlian yang tepat untuk suatu pekerjaan
yang sedang dilakukan tim tersebut. Partisipasi dan kontribusi setiap anggota
tim menjadi penting bagi keberhasilan pekerjaan.
Untuk keberhasilan model kerja yang sarat
dengan diversifikasi keahlian ini, nilai-nilai kesetaraan antaranggota dan
antartim perlu dijunjung tinggi. Kolaborasi, partisipasi, dan kesetaraan
merupakan prinsip-prinsip dalam pendekatan Anarkis yang diterapkan dalam proses
pembelajaran di sekolah. Pada saat yang bersamaan, diskriminasi merupakan hal
yang tidak diberi tempat. Oleh karena itu, pendekatan Anarkis terhadap
pendidikan akan mendorong kesetaraan gender serta keterlibatan
kelompok-kelompok marginal lainnya, yaitu kelompok miskin, difabel, dan lain
sebagainya–hal yang juga merupakan visi masyarakat masa depan.
4. Adaptasi, fleksibilitas, dan toleransi
Sebagaimana sudah menjadi hal yang biasa saat
inipun, bekerja pada masa depan mengedepankan mobilitas dan komunikasi lintas
batas. Dengan pola seperti ini, bekerja tidak akan terhambat oleh jarak dan
pekerja senantiasa berada dalam lingkungan yang penuh keberagaman dari segi
nasionalitas, etnisitas, keyakinan dan keagamaan, dan lain-lain. Oleh karena
itu, kemampuan beradaptasi, fleksibilitas, dan sikap toleransi seseorang
menjadi hal-hal yang sangat penting dalam dunia kerja masa mendatang.
Kebebasan
menjelajah sesuai minat saat belajar alih-alih mengandalkan buku cetak
merupakan hal yang sentral dalam pendekatan Anarkis terhadap pendidikan. Siswa
difasilitasi untuk mempelajari berbagai topik atau keterampilan langsung di
tempatnya, misalnya di sawah, pasar, laboratorium rumah sakit, pabrik, atau
gedung parlemen. Ruang kelas bukan tempat utama kegiatan belajar itu
berlangsung. Pembelajaran yang berorientasi pada praktik ini akan mengembangkan
kemampuan berinteraksi serta tingkat adaptasi dan fleksibilitas siswa. Sementara
itu, prinsip kesetaraan dan keadilan sosial yang mengarahkan pembelajaran akan menanamkan
sikap-sikap inklusif, menerima keberagaman, dan toleransi–hal yang akan membekali
siswa untuk era masa depan yang bergerak cepat dan global.
Guru dan Metode Pengajaran Alternatif"Pendidikan menjadi kendaraan untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi dan politik negara dan anak cenderung direduksi menjadi objek pendidikan."
Dalam
pendekatan Anarkis terhadap pendidikan, peran guru adalah sebagai fasilitator,
bukan sebagai sumber utama pengetahuan, apalagi mengingat bahwa beragam sumber
informasi sekarang dapat diakses di dunia maya. Dengan demikian, relasi guru
dan murid lebih bersifat horizontal. Namun, dengan kondisi anak-anak yang hidup
di tengah-tengah masyarakat yang secara umum memelihara berbagai prasangka, peran
guru menjadi amat penting dalam membentuk nilai-nilai kesetaraan–termasuk
kesetaraan gender, antirasisme, dan inklusivitas di dalam diri anak. Oleh karena
itu, kompetensi guru yang dibutuhkan mencakup kesadaran terhadap diskriminasi
dan sikap-sikap intoleran.
Kalau
dibilang pendekatan Anarkis itu adalah satu-satunya pendekatan pendidikan yang
memperhatikan hal-hal yang sudah diuraikan di atas, sebenarnya juga tidak. Terdapat metode-metode
pengajaran yang juga sudah lama berkembang yang dalam berberapa aspek memiliki
kesamaan dengan metode pengajaran pendekatan Anarkis. Di Indonesia saat ini
juga terdapat berbagai sekolah alternatif yang menerapkan metode pengajaran
yang memiliki beberapa kesamaan dengan metode dalam pendekatan Anarkis. Bahkan
dalam sejarah Indonesia pun ditemui berbagai sekolah alternatif sebelum akhirnya
menghadapi penentangan dari pemerintahan Hindia Belanda atau harus tunduk pada
penyeragaman yang diatur pemerintah Orde Baru.
Namun,
alih-alih menerapkan metode pengajaran alternatif pada pendidikan alternatif
saja, metode tersebut dapat dan perlu diadopsi dalam pendidikan umum untuk
menghadapi perubahan-perubahan global yang terjadi. Terkait hal ini, guru
merupakan agen perubahan yang penting.
Tujuan Pendidikan
Kegelisahan
para pengamat terhadap kesenjangan antara perkembangan dalam institusi
pendidikan dan perkembangan dalam dunia kerja yang dapat menghalangi kemajuan
merupakan kegelisahan terhadap keberlanjutan pembangunan kapitalis. Meskipun pendekatan
Anarkis terhadap pendidikan makin relevan untuk mengantisipasi perkembangan
dunia kerja di masa mendatang, tetapi Anarkisme mengkritik negara karena menggunakan
sekolah bagi kepentingannya mencetak tenaga kerja untuk menjalankan roda
pembangunan dan mencapai tujuan-tujuan negara.
UnschoolingHub.com |
Selain untuk mencetak pekerja, melalui sekolah, negara menyebarkan berbagai gagasan tentang moral atau “kebenaran” untuk mendukung kekuasaan negara. Dengan demikian, pendidikan menjadi kendaraan untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi dan politik negara dan anak cenderung direduksi menjadi objek pendidikan. Sikap kritis dan mengeksplorasi dalam pendekatan Anarkis terhadap pendidikan dapat menjadi benteng dalam upaya melindungi institusi pendidikan dari penguasaan sumber informasi, monopoli kebenararan, dan berbagai kepentingan politik dan ekonomi.
Pada
masa depan yang bergerak cepat dan global, nasionalisme hendaknya makin
berkurang relevansinya dan setiap orang sepatutnya mengambil posisi sebagai
warga dunia. Selaras dengan hal ini, tujuan pendidikan hendaknya adalah untuk
membangun nilai-nilai kehidupan dan perubahan yang bermanfaat bukan saja bagi
negara, tetapi bagi kemaslahatan dan perdamaian masyarakat dunia.
Sumber
Chertoff,
Emily (2013)
‘The Strange Story of New York’s Anarchist School.’ The Atlantic https://www.theatlantic.com/national/archive/2013/01/the-strange-story-of-new-yorks-anarchist-school/266224/
[10
Oktober 2018].
DeLeon,
Abraham (2008)
Oh
No, Not the “A” Word! Proposing an “Anarchism” for Education https://theanarchistlibrary.org/library/abraham-deleon-oh-no-not-the-a-word-proposing-an-anarchism-for-education
[20
Oktober 2018].
Goldman,
Emma (1910)
Anarchism and Other Essays http://dwardmac.pitzer.edu/Anarchist_Archives/goldman/aando/ferrer.html
[20
Oktober 2018].
Gribble,
David Good (2018) ‘News for Francisco Ferrer: How Anarchist Ideas in
Education Have Survived Around the World.’ Changing
Anarchism https://www.manchesteropenhive.com/view/9781526137289/9781526137289.00019.xml
[25
November 2018].
Pota, Vikas (2016) Why Asia’s Future Employees Need More Than
Good Grades. World Economic Forum https://www.weforum.org/agenda/2016/05/asia-future-employees-education-skills/
[21 Oktober 2018].
Tempo.co (2018) ‘Sebanyak 57 Persen
Guru Punya Opini Intoleran’ Tempo.co https://nasional.tempo.co/read/1136988/sebanyak-57-persen-guru-punya-opini-intoleran
[25
November 2018].
UNESCO (2017) Promoting Tolerance
http://www.unesco.org/new/en/social-and-human-sciences/themes/fight-against-discrimination/promoting-tolerance/
[21 Oktober 2018].
YouTube
(n.d.) Noam Chomsky-The Purpose of Education https://youtu.be/DdNAUJWJN08 [4
November 2018].
Yunita, Kurnia dan Anggar Septiadi (2015)
Sekilas mengenai Kemunculan Sekolah
Alternatif di Indonesia. Ekstrakurikulab http://ekstrakurikulab.serrum.id/2016/05/13/sekilas-mengenai-kemunculan-sekolah-alternatif-di-indonesia/
[25 November 2018].