BATAVIA: Slavery, Resistance, and Sexual Taboo
(English synopsis below)
Kalau Jakarta sekarang dikenal sebagai “the sinking city” dan kota dengan tingkat polusi tinggi, Batavia (nama Jakarta sebelumnya) dahulu dikenal sebagai kota budak dan kota gundik. Keberfungisan kota pusat administrasi VOC itu begitu bergantung pada kerja para budak hingga jumlah budak berkembang menjadi separuh dari penduduk kota. Sebagai komoditas penting, kaum budak menjadi bagian dari perdagangan manusia. Mereka menghuni sisi luar tembok, terpisah dari pusat kota. Hanya budak-budak yang bekerja dalam rumah tangga yang menghuni pusat kota, terutama budak perempuan yang mengurus rumah dan menjadi pelayan seks majikannya. Praktik laki-laki warga asing hidup dengan perempuan pribumi dalam rangka memenuhi kebutuhan biologis dan untuk mengurus rumah menjadi begitu meluas pada abad 18 dan 19, hingga kota Batavia dijuluki kota gundik.
Kota
Batavia mulai abad ke-17 tumbuh menjadi kota hybrid yang menampung warga dari berbagai bangsa asing, seperti Eropa,
Tionghoa, dan India, serta masyarakat dari berbagai provinsi di Indonesia akibat
maraknya perdagangan budak antardaerah. Para budak hidup dalam kondisi amat
buruk dan di bawah ancaman siksaan fisik, bahkan sebagian bekerja dalam cengkeraman
rantai.
Dengan ketertindasan yang dialami para budak dan dengan jumlah mereka yang begitu besar, muncul pertanyaan, mengapa tidak pernah tumbuh kekuatan budak sebagai kelompok sosial untuk melakukan pemberontakan?
Dengan ketertindasan yang dialami para budak dan dengan jumlah mereka yang begitu besar, muncul pertanyaan, mengapa tidak pernah tumbuh kekuatan budak sebagai kelompok sosial untuk melakukan pemberontakan?
English Synopsis
In the 17th century, the city of Batavia began to grow into a hybrid city providing living space for people from Europe, China, and India, as well as people from various provinces in Indonesia coming in as slaves. Slaves lived in poor condition and were under constant threat of physical torture. Considering the grave oppression slaves faced, why have slave uprisings never occurred in Batavia?
First, with slaves making half of Batavia’s population, the Dutch had created ways to suppress the emergence of rebellion. One way was to create a city which distances several ethnic and social groups from the center of the city and from strategic places within the city, preventing the proximity of threatening groups.
Second, as a result of ethnic and cultural diversity, the slaves were fragmented, despite experiencing similar oppression. Ethnic identity was the main identity of the slaves, not their oppression. Third, alongside the sexual taboo and double oppression of race and gender experienced by local women through concubine relationships with foreign men, these women experienced vertical mobility which further hampered awareness and solidarity. Lastly, a factor that discouraged the development of solidarity among slaves is the possibility of fleeing from their masters, an effort which had proven to be possible.
Looking back, it is clear that the development of modern Batavia as a multiethnic and multiracial city cannot be separated from its colonial past and from the transglobal history of the trafficking and oppression of people as slaves.
Batavia: Hierarki dan
Perlawanan
Kota
Batavia merupakan kota multietnis yang dibangun oleh kaum kolonialis Belanda. Menurut
Kehoe (2015), Pemerintah Hindia Belanda merancang tata letak kota Batavia
dengan mengatur keleluasaan mobilitas dan akses setiap kelompok warga, tetapi
dengan cara yang subtil, dengan tujuan mengantisipasi konflik etnis yang mungkin
muncul, selain untuk menguatkan kedudukan pihak kolonial Belanda.
Beragam
etnis hidup di bawah pengorganisasian sosial yang hierarkis di Batavia. Berdasarkan
urutan hierarki etnis, dari 27,000
penduduk, 2,000 adalah dari etnis Belanda,
700 Indo, 2,800 Tionghoa, 5,000
keturunan India, 3,000 Jawa dan dari pulau lainnya. Sementara itu, hampir separuh
lagi dari penduduknya, yakni 13,000 jiwa, adalah budak. Meski jual-beli budak
dari berbagai provinsi menghasilkan kelompok budak dari beragam asal-usul,
hasil survei tersebut tidak memberi keterangan tentang etnis kelompok budak
(survei 1673 dalam Kehoe, 2015). Orang-orang Jawa pada umumnya tidak dijadikan
budak karena mereka dianggap mudah melarikan diri, di samping untuk menghindari
perlawanan dari suku Jawa di Batavia. Kelompok budak menempati posisi paling
bawah dalam hierarki dan para budak ini bukan saja menjadi milik pihak Belanda,
tetapi juga penduduk lain yang kaya.
Tata
letak kota Batavia terkotak-kotak oleh bangunan tembok pemisah dan kanal dengan
akses yang berbeda-beda untuk mencapai pusat kota. Masing-masing bagian dihuni
oleh etnis yang berbeda. Dengan cara ini, pemerintah Hindia Belanda mengatur
interaksi sosial antarbagian kota dan kelompok etnis serta menegakkan
keteraturan sosial. Keteraturan sosial ini menyamarkan hierarki yang sebenarnya
menempatkan warga Belanda pada puncaknya. Warga Belanda yang tinggal di Batavia
pun—yang merupakan minoritas dari segi jumlah—berasal dari berbagai latar
belakang sosial. Gedung-gedung dengan desain gaya Belanda melekatkan identitas
Belanda pada Batavia dengan tujuan menyatukan warga Belanda dari berbagai latar
yang menghuni kota tersebut.
Pada
awal mulanya, hierarki yang diciptakan oleh tata letak kota Batavia ini tampak
samar dengan adanya akses setiap kelompok warga ke pusat kota, tetapi dengan
kemudahan jangkauan yang berbeda. Kelompok budak pun ada yang bermukim lebih
dekat ke pusat kota, yakni mereka yang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang
membutuhkan keahlian. Para pedagang Cina yang cukup berhasil juga tinggal di
sekitar Sungai Ciliwung, daerah yang dihuni orang-orang Belanda, dan menjadi
bagian dari warga elite.
Hierarki
menjadi tampak jelas setelah adanya kerusuhan yang melanda Batavia,yakni kasus
pemberontakan di pabrik tebu oleh buruh keturunan etnis Tionghoa pada 1740 yang
dipicu oleh harga gula yang menurun drastis dan pembunuhan terhadap tentara
Belanda oleh kelompok etnis Tionghoa. Pemberontakan ini berimbas menjadi pogrom
terhadap penduduk Tionghoa di Batavia dengan pembakaran rumah penduduk Tionghoa
dan pembunuhan terhadap etnis ini, termasuk perempuan hamil dan anak-anak, oleh
warga lain di Batavia. Diperkirakan 10,000 penduduk etnis Tionghoa terbunuh
pada peristiwa ini. Sebagai akibat peristiwa ini, terjadi perubahan struktur
permukiman.
Nyai Batavia (Intisari Mediatama)
|
Pasca-1740, warga Tionghoa menghuni permukiman di sisi luar tembok pusat kota. Belajar dari peristiwa ini, untuk menghindari risiko pemberontakan seperti yang terjadi pada 1740, para budak berketerampilan pun tergeser dari permukimannya di dalam pusat kota ke sisi luar tembok pusat kota. Dengan demikian, kelompok-kelompok yang dipandang dapat mengancam kekuasaan Belanda disingkirkan dari pusat kota, dan dengan perubahan ini, kelompok Tionghoa khususnya berangsur-angsur menjadi kelompok yang lebih homogen dengan tergabungnya mereka di dalam satu wilayah.
Etnis
Tionghoa yang setelah peristiwa 1740 masih berani membangkang tidak lagi
dibunuh, tetapi dipindahkan ke negara lain sebagai tawanan politik. Banyak dari
mereka, termasuk perempuan, dikirim ke Afrika Selatan. Bahkan kebanyakan perempuan
Asia yang dipindahkan ke Afrika Selatan adalah perempuan dari Indonesia. Di
negeri ini mereka dijadikan budak dan melalui perkawinan antarras mereka menorehkan
gen Asia di Afrika, selain membawa budaya Asia dan menambah populasi Islam.
Pergundikan dan Mobilitas
Para
budak melakukan jenis pekerjaan berdasarkan gender dan keterampilan yang
dimiliki. Mereka dibedakan antara yang berketerampilan dan yang tidak
berketerampilan. Budak laki-laki berketerampilan melakukan pekerjaan yang
memerlukan keahlian khusus seperti yang dilakukan oleh tukang besi dan tukang
kayu. Para budak yang tak berketerampilan bekerja layaknya buruh perkebunan,
termasuk kaum perempuan, atau kuli. Banyak juga budak yang dipekerjakan di
rumah-rumah untuk melakukan pekerjaan domestik, termasuk kaum perempuan. Budak
yang memiliki keterampilan dan budak yang bekerja di dalam rumah mengalami
kondisi yang lebih baik dari sudut pandang tempat tinggal dan akses terhadap
kebutuhan dasar karena mereka tinggal di dekat tempat kerja atau dalam bagian rumah majikannya di pusat
kota.
Bagi
budak perempuan yang bekerja di rumah majikannya, jika diminta, mereka juga
harus melayani kebutuhan seksual majikan laki-lakinya. Para pegawai VOC umumnya
tidak datang dengan istri dan keluarga mereka. Menjadikan budak perempuan yang
bekerja di rumah sebagai pelayan seksual dianggap VOC sebagai solusi yang jitu
untuk menghindari ketidakbetahan pegawainya di Batavia.
Praktik
memanfaatkan perempuan pribumi sebagai pasangan seks, baik di bordil maupun di
rumah sudah merupakan hal yang biasa dilakukan pihak kolonalis di daerah
jajahannya. Sebelum kedatangan bangsa Belanda, bangsa Portugis sudah mempraktikkan
pergundikan di Batavia. Oleh karena itu, sejak abad ke-17 sudah banyak dijumpai
anak-anak ras campuran yang lahir dari bangsa Portugis dari hasil hubungan
pergundikan. Karena budak-budak didatangkan dari berbagai provinsi, maka
budak-budak perempuan di Batavia yang kemudian dijadikan gundik umumnya berasal
dari luar Pulau Jawa.
Para
budak perempuan yang melahirkan anak-anak dari majikan mereka, ada yang masih
disantuni setelah majikannya kembali ke negera asalnya, ada yang sama sekali tidak
disantuni hingga giliran perempuan tersebut menjadi milik majikan lain. Pada
segelintir kasus, ada budak yang akhirnya diperlakukan dan diakui layaknya
istri, meski secara hukum hubungannya tidak diakui, selain tidak disukai
Pemerintah Belanda.
Para
perempuan yang menjadi budak seks inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan
“nyai”. Menjadi nyai merupakan salah satu cara untuk memperoleh kesejahteraan yang
lebih baik. Para nyai akan memperoleh pemberian seperti emas, pakaian, uang,
dan lainnya dari majikannya. Bahkan hubungan nyai dan majikannya dapat tumbuh
menjadi jalinan asmara hingga muncul cinta segitiga atau crime of passion yang berakhir dengan pembunuhan sang nyai. Hal ini
sudah pernah kita dengar dari kisah-kisah sejarah mengenai Nyai Dasima dan Nyai
Mariam, di antaranya.
Meski
dianggap perbuatan yang merendahkan martabat bangsa Belanda, terutama bagi para
pegawai VOC, pergundikan merupakan praktik yang menjadi gaya hidup warga
Belanda di Batavia. Pemerintah Hindia Belanda–di bawah pimpinan Gubernur Jenderal
Coen yang sangat menentang pencampuran masyarakat Belanda dengan pribumi–pernah
melakukan berbagai upaya untuk membatasi pergundikan melalui beberapa regulasi
dan bahkan dengan mendatangkan gadis-gadis Belanda ke Batavia. Namun, semua
upaya tersebut tidak berhasil mengurangi praktik pergundikan di Batavia.
"Bersamaan dengan penindasan ganda berupa ras dan gender yang dialami perempuan pribumi melalui pergundikan, mereka mengalami mobilitas vertikal yang meredam munculnya kesadaran kelompok."
Secara
sosial pergundikan ini tidak saja dianggap merendahkan bangsa Belanda, masyarakat
pribumi pun tak jarang memandang para nyai itu dengan sebelah mata, meskipun para
nyai mengalami mobilitas ekonomi. Namun, nyai-nyai dari para pejabat asing
secara sosial mendapat pengakuan seiring dengan kehidupan ekonomi mereka yang
terus meningkat dan tampak mewah. Perbudakan seksual di dalam rumah-rumah
majikan Belanda atau asing lainnya menjadi sarana mobilitas vertikal bagi perempuan
budak dan sarana asimlasi antara budaya masyarakat pribumi dan budaya asing.
Meskipun
perempuan-perempuan yang bekerja di dalam rumah tangga tampak mengalami
kehidupannya yang lebih baik, tetapi tidak berarti mereka bebas dari ancaman
hukuman fisik dan kekejaman majikannya. Tingkat pelarian budak-budak domestik cukup
tinggi hingga Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan hukum sebagai
sanksi atas mereka yang berusaha membebaskan diri.
Identitas vs. Resistensi
Dengan
komposisi penduduk Batavia yang separuhnya merupakan budak, pihak Belanda sudah
membuat penghalang bagi munculnya gerakan-gerakan yang bisa melumpuhkan
kekuasaan mereka. Salah satu cara adalah dengan merancang tata letak kota
Batavia yang memisahkan dan menjauhkan beberapa kelompok etnis dan sosial dari
pusat kota dan tempat-tempat yang strategis di dalam kota.
Meskipun
setelah 1740 lebih banyak budak hidup berdekatan, faktor seperti perbedaan
etnis, bahasa, dan latar belakang sosial akibat perpindahan budak yang pesat,
serta pemisahan berdasarkan jenis pekerjaan terus menghalangi terbangunnya
sebuah identitas kelompok yang kuat dan terbentuknya kekuatan sosial yang
berarti. Keragaman etnis dan budaya membuat para budak terpecah-pecah, meski
mengalami penindasan yang serupa. Identitas etnis menjadi identitas utama kaum
budak, bukan kesamaan nasib.
Mobilitas
vertikal sebagai nyai yang dapat diperoleh sebagian budak perempuan yang
diperkerjakan di rumah-rumah juga merupakan faktor yang menghalangi
terbangunnya solidaritas di antara para budak dan persoalan perbudakan menjadi
persoalan di tingkat individual. Hubungan pergundikan ini tidak disukai pihak Belanda karena
merupakan media bagi tabu seksual berupa percampuran antara ras superior dan
ras inferior yang akan menghasilkan anak-anak yang inferior. Namun, kondisi
tersebut dapat ditoleransi karena perempuan pribumi dianggap sebagai gender
yang inferior oleh masyarakat Eropa pada masa itu. Bersamaan dengan penindasan
ganda berupa ras dan gender yang dialami perempuan pribumi melalui pergundikan,
mereka mengalami mobilitas vertikal yang meredam munculnya kesadaran kelompok.
Faktor
lain–yakni mungkinnya budak lari dari majikannya adalah hal yang turut tidak
mendorong terbangunnya kekuatan sosial di kalangan budak. Larinya budak dari
majikan merupakan wujud pemberontakan para budak. Meskipun dapat dihukum karena
tindakan ini, adanya kasus-kasus pelarian budak yang berhasil, membangun harapan
yang tinggi di kalangan budak.
Berkembangnya
Batavia sebagai kota multietnis dan multiras tak dapat dilepaskan dari sejarah pemindahan
paksa manusia secara pesat dan transglobal untuk dijadikan budak. Tak dapat
dipungkiri bahwa Batavia telah berdiri di atas penderitaan mereka yang
dijadikan budak dan gundik.
Sumber
Adhy, Winda Prastyaning (2014) Peranan
Nyai dalam Transformasi Modernisasi di Jawa. Universitas Negeri Yogyakarta.
Cammisa People (2014) The ‘Peranakan
Chinese’ in Our Heritage—The Case of a Mystery Chinese Lady Exiled to the Cape
from Batavia circa 1740
<https://camissapeople.wordpress.com/2014/03/29/the-peranakan-chinese-in-our-heritage-the-case-of-a-mystery-chinese-lady-exiled-to-the-cape-from-batavia-circa-1740/>
[22 June 2019].
Kehoe, Marsely L. (2015) Dutch
Batavia: Exposing the Hierarchy of the Dutch Colonial City <https://jhna.org/articles/dutch-batavia-exposing-hierarchy-dutch-colonial-city/>.Journal
of Historians of Netherlandish Arts [22 June 2019].
Mbeki, Linda dan Rossum, Matthias (2016) Private slave trade in the Dutch Indian Ocean world: a study into the networks and backgrounds of the slavers and the enslaved in South Asia and South Africa <https://pure.knaw.nl/portal/files/2271244/2016_MvR_LM_Private_slave_trade_in_the_Dutch_Indian_Ocean.pdf> [22
June 2019].
Muhammad Subarkah (2016) 'Kisah Nyai
dan Pergundikan di Batavia Bagian 1,2,3.' Republika co.id <https://nasional.republika.co.id/berita/o2p6oy385/kisah-nyai-dan-pergundikan-di-batavia-bagian-1> [10 August 2019].
Williams, Karen ( 2016) Slave
Narratives from Dutch Colonisation in Indonesia
<https://mediadiversified.org/2016/08/25/slave-narratives-from-dutch-colonisation-in-indonesia/>
[22 June 2019].