Catatan tentang buku “Metode-Metode Feminis dalam Penelitian Sosial,”
karya Shulamit Reinharz[i]
(Diterbitkan oleh Women Research Institute, Jakarta, 2005)
What is
valid knowledge? Itulah
pertanyaan yang mengusik studi feminis. Banyak kajian feminis yang menantang
bagaimana ”pengetahuan” itu dicapai dalam penelitan arus-utama dan bersikap
kritis terhadap metode-metode yang digunakan. Kritik feminis terhadap
metode-metode penelitian konvensional atau arus-utama, terutama terletak pada
masalah epistemologi. Para peneliti feminis khususnya mempertanyakan apakah
”objektivitas” dapat dicapai dalam suatu penelitian? Dan selanjutnya, apakah
objektivitas memang diinginkan dalam suatu penelitian?
Munculnya
pertanyaan-pertanyaan seperti di atas pada awal dekade 1980, memang cukup mengganggu
status quo berbagai bidang ilmu
sosial, termasuk sosiologi. Shulmit Reinharz, seorang profesor sosiologi dari Brandeis
University, A.S., dalam buku setebal 582 halaman (termasuk daftar pustaka,
catatan akhir, dan indeks), yang diterbitkan pada 1992, mengumpulkan dan memaparkan
dengan amat perinci––bahkan hampir seperti mendokumentasi––berbagai
perkembangan dan pertarungan pemikiran kaum peneliti feminis mengenai
metode-metode feminis yang selama ini telah dikembangkan dalam penelitian
sosial. Dalam bukunya Metode-Metode Feminis
dalam Penelitian Sosial, penulis dengan tekun mengutip beragam sumber untuk
mendeskripsikan apa yang dimaksud dengan penelitian feminis dan pemikiran para
peneliti perempuan terdahulu yang kemudian mempelopori munculnya metode-metode
feminis. Meski ditulis sekitar 20 tahun yang lalu dan bertepatan dengan era ”Gender
and Development” yang melanda negara-negara berkembang pada tahun 1990-an, sampai
saat ini pun buku ini masih bisa dikatakan sebagai wacana yang relatif baru
bagi penelitian sosial di Indonesia.
Apa itu Penelitian Feminis?
Reinharz
mengawali bukunya dengan menjelaskan apa yang dimaksud dengan penelitian
feminis. Penelitian feminis itu pada awalnya berkembang karena adanya
peneliti-peneliti perempuan yang menyadari bahwa perempuan serta pengalaman dan
perspektifnya sering diekslusikan sebagai subjek penelitian. Menelusuri
pandangan para pendekar penelitian feminis sebelumnya, seperti Maria Mies[ii]
dan Ann Oakley[iii], dapat
disimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada kesepakatan di antara para feminis
tentang definisi penelitian feminis. Reinharz mengungkapkan, ”Daripada
menyatakan apa itu penelitian feminis, saya memlilih alternatif lain yakni
memberi contoh apa saja yang tercakup dalam penelitian feminis...” (2).
Membaca buku
ini, setidaknya dapat ditemukan beberapa prinsip atau ciri yang menandai penelitian
feminis, seperti diuraikan di bawah.
- Menolak positivisme. Penelitian feminis menolak
adanya pengetahuan yang bisa dibangun melalui penelitian yang netral,
bebas nilai, dan bahwa objektivitas bisa dicapai dalam penelitian.
Penelitian feminis sebaliknya justru mementingkan subyektivitas pengalaman
personal peneliti dan subjek penelitian. Pengalaman personal individu
dipandang menghubungkan individu tersebut dengan persoalan sosial.
- Ingin mewujudkan hubungan egaliter antara peneliti dan yang
diteliti. Metode penelitian feminis menolak hierarki antara
peneliti dan yang diteliti dan pemisahan yang tegas antara objek dan
subjek dalam penelitian. Peneliti diharapkan terlibat secara penuh maupun
emosional bersama partisipan penelitian.
- Bersifat inklusif. Peneliti feminis
menganggap komunitas bisa berpartisipasi dalam mendesain, menginterpretasi
hasil penelitian, dan merumuskan kesimpulan. Secara ideal, subjek
penelitian menjadi penentu dan pemilik penelitian. Di balik prinsip ini
sebenarnya adalah penolakan terhadap otoritas suara peneliti dalam
menginterpretasi suatu fenomena.
- Memiliki sensitivitas gender. Penelitian
feminis sensitif terhadap hubungan-hubungan gender dan mengenali adanya ketimpangan
kekuasaan yang berbasis gender yang terutama merugikan perempuan.
- Menyadari adanya pluralisme.
Perempuan tidak dipahami sebagai kelompok yang homogen sehingga penelitian
feminis sangat memperhatikan dimensi kelas, etnis, ras, orientasi seksual,
usia, dan lain-lain dalam persoalan gender.
- Menolak androsentrisme.
Peneliti feminis melihat bahwa pada umumnya ilmu sosial (dan ilmu lainnya)
cenderung merepresentasikan sudut
pandang laki-laki (androsentris); bahwa kesimpulan yang ditarik cenderung
merepresentasikan pengalaman laki-laki dan digeneralisasikan sebagai
pengalaman manusia atau sekelompok
- berbagai metode yang lazim digunakan dalam masyarakat
tertentu, padahal belum tentu merepresentasikan apa yang sebenarnya
dialami perempuan.
- Mengombinasikan berbagai metode penelitian arus-utama. Penelitian feminis mengombinasikan penelitian arus-utama dan
pada saat bersamaan melakukan inovasi-inovasi pada metode-metode
penelitian tersebut agardapat lebih menggali dan mengungkapkan masalah
gender yang ada.
- Memiliki tujuan (agenda terbuka) untuk memberdayakan perempuan. Pemberdayaan perempuan yang dilakukan, antara lain, dalam bentuk
terbangunnya pemahaman perempuan tentang situasi dan kondisi mereka,
misalnya, kendala-kendala struktural yang selama ini berdampak pada
kehidupan mereka dan jalan keluar yang mungkin bisa ditempuh. Pemberdayaan
ini mengungkapkan suara para perempuan yang menjadi subjek penelitian dan
peneliti sekaligus juga diperberdayakan karena dapat belajar dari
pengalaman perempuan tersebut.
- Tujuan akhir penelitan adalah perubahan sosial. Perubahan yang dituju penelitian feminis adalah yang akan
menghapus ketimpangan sosial, yang memperbaiki keadaan dan posisi
perempuan dalam masyarakat. Perubahan ini bisa dalam arti perubahan yang
lebih bersifat jangka panjang, seperti perubahan nilai-nilai, atau pun
lebih praktis, yakni mengubah suatu kebijakan.
- Penelitian feminis berorientasi pada aksi politik. Aksi politik penelitian feminis tidak melulu berarti secara konkret merumuskan suatu rekomendasi kebijakan atau melakukan suatu aksi politik-praktis. Berorientasi pada aksi politik juga bisa mencakup penelitian yang bersifat kritik terhadap wacana dominan, misalnya, yang mengungkap bagaimana wacana tersebut mengukuhkan subordinasi perempuan. Seperti diungkapan Reinharz, “karena feminisme dari definisnya sudah beorientasi pada perubahan, semua penelitian feminis memiliki komponen aksi” (271).
Secara
singkat dari prinsip-prinsip di atas dapat disimpulkan bahwa apa yang
membedakan penelitian feminis dari pendekatan penelitian sosial lainnya adalah
pandangannya bahwa gambaran ilmiah terhadap realitas cenderung tidak lengkap
dan mengalami distorsi karena didominasi oleh asumsi-asumsi perspektif yang
androsentris. Feminisme melihat bahwa nilai-nilai patriarkat turut membentuk
konstruksi dan definisi tentang bagaimana penelitian dilaksanakan dan bagaimana
pengetahuan dibentuk.
Metode-metode Feminis
Shulamit Reinharz |
Mencermati
penelitian-penelitan feminis awal, nampak bahwa penelitian tersebut menggunakan
metode-metode yang biasa digunakan dalam penelitian arus-utama, seperti metode kualitatif
dan kuantitatif. Dalam diskusi mengenai metode-metode feminis telah berkembang
pandangan bahwa metode kualitatif lebih sesuai untuk penelitian feminis karena
memberi gambaran perinci dan mendalam tentang permasalahan yang diteliti.
Metode kuantitatif dipandang lebih mewakili penelitian yang positivistik. Pertanyaannya
yang tertutup, metodologinya yang ketat, dan penekanannya pada netralitas serta
penelitian bebas nilai, dianggap tidak bisa mengungkap akar persoalan di balik
kondisi perempuan.
Kalau kita
melihat ke belakang, memang perdebatan ini muncul di kalangan peneliti feminis
Barat, namun sesuai dengan prinsip majemuk (mengombinasikan berbagai metode) dalam
penelitian feminis, maka perdebatan ini kian ditinggalkan. Walaupun banyak
peneliti feminis yang menganggap ada nilai lebih dari penelitian kualitatif,
seperti dalam metode wawancara, namun banyak juga yang menganggap bahwa
pendikotomian antara metode kualitatif dan kuantitatif dengan anggapan bahwa
kualitatif itu ”lebih feminis”, tidak sepenuhnya benar. Penelitian feminis bukan
merupakan penelitian dengan metode yang tunggal (273), tetapi mengombinasi
berbagai metode, termasuk di dalamnya metode kuantitatif. Sejalan dengan pandangan
ini, peneliti feminis lainnya menganggap bahwa metode majemuk dan
interdisipliner adalah yang paling sesuai dengan sifat penelitian feminis yang
ingin mencapai pengetahuan baru berdasarkan realitas pengalaman perempuan.
Reinharz memperkuat argumen tersebut dengan menyatakan bahwa ada visi ganda
dalam penelitian feminis, yakni pada satu sisi menggunakan metodologi yang
memenuhi standar keilmiahan dan di sisi lain, tetap dilandasi oleh
prinsip-prinsip feminis (127).
Walau
menggunakan metode-metode konvensional, inovasi penelitian feminis terhadap
metode-metode tersebut yang secara tegas membedakan penelitian ini dengan
penelitian-penelitan arus-utama adalah penolakannya terhadap positivisme. Positivisme
dianggap sebagai suatu aspek dari pemikiran patriarkat yang memisahkan para
sarjana dari fenomena yang sedang diteliti. Dalam konteks ini, menurut Reinharz,
penelitian lapangan feminis memiliki peran khusus, yakni menegakkan perspektif
nonpositivisme, membangun kembali ilmu sosial, dan menghasilkan konsep-konsep
baru menyangkut perempuan (59–60).
Prinsip
feminis di atas nampak jelas dalam penelitian feminis dengan metode majemuk.
Reinharz selanjutnya mengidentifikasi beberapa metode orisinal feminis, baik
yang menciptakan metode baru maupun yang menggunakan metode lama dengan cara
baru, antara lain, penyadaran, buku harian kelompok, drama, suara penelitian
nonotoritatif, percakapan/dialog, identifikasi, dan fotografi atau teknik
gambar. Selain itu, ada berbagai perkembangan dalam metode penelitian feminis,
seperti penelitian wawancara feminis, etnografi feminis, survei feminis,
eksperimental feminis, lintas-budaya feminis, sejarah lisan feminis, analisis
isi feminis, studi kasus feminis, dan penelitian aksi feminis. Metode-metode
tersebut merupakan metode alternatif yang memiliki fokus pada interpretasi,
menyelami latar sosial, dan bertujuan memperoleh pengertian intersubjektif
antara peneliti dan yang diteliti (59).
Melihat pada
metode-metode feminis yang telah berkembang, jelas bahwa para peneliti feminis
ingin mengkritik dominasi otoritas peneliti dalam menginterpretasi suatu
fenomena atau gejala. Sebaliknya, mereka ingin menampilkan suara subjek yang
diteliti. ”Peneliti feminis mengembangkan ide-ide dengan mengkritik status quo, kemudian mengkritik kritik
itu, atau mencari sintesis yang akan dikritik” (336). Mengingat bahwa
penelitian feminis dibimbing oleh teori feminis dan karena ada banyak definisi
feminisme, maka ”tidak ada ’cara feminis’ tunggal untuk melakukan penelitian”
(339).
Beberapa Pikiran Penutup
Mengakhiri
bukunya dengan berbagai persoalan yang hadir dalam penelitian feminis, bab
terakhir menekankan bahwa perbedaan pendapat tentang apa yang dipandang sebagai
penelitian feminis di antara para feminis sendiri tidak perlu ditanggapi
sebagai hal yang negatif atau sebagai kelemahan. Hal ini justru menunjukkan
bahwa kelompok ini bukanlah kelompok yang seragam (374), mengingat tidak adanya
rumusan tentang feminisme yang juga seragam. ”Adanya perbedaan-perbedaan ini
menguntungkan karena tidak adanya ortodoksi memungkinkan kebebasan pikiran dan
tindakan” (6).
Buku yang
layak disebut sebagai reader bagi
para mahasiswa maupun praktisi ini menunjukkan bagaimana para feminis dari masa
silam hingga awal dekade 1990 redefinisi apa yang menentukan keilmiahan sebuah
penelitian sosial.
[i]Tulisan
ini pernah dipresentasikan pada diskusi buku internal sebuah lembaga penelitian di
Jakarta.
[ii]Maria Mies adalah profesor sosiologi
di Cologne
University of Applied Sciences,
German
dan penulis beberapa buku klasik feminis, antara lain, Patriarchy and
Accumulation on a World Scale (1986). Pada 1979 mendirikan program Women
and Development di Institute of
Social Studies di Belanda. Ia banyak menyoroti
tentang pengembangan pendekatan alternatif dalam metodologi dan ekonomi.
[iii]Ann Oakley adalah profesor sosiologi
dan pendiri Social Research Unit di Institute of Education, University of London serta penulis
beberapa buku klasik feminis, seperti The
Sociology of Housework (1974).
[iv]Dale Spender adalah dosen dan penulis
feminis asal Australia. Bukunya yang terkenal, antara lain, The Man Made Language (1980) dan For the Record: the Making and Meaning of
Feminist Knowledge (1985).