[Coffee and Social Change]
Bagi banyak orang minum kopi adalah hal yang biasa, bahkan bagi masyarakat perkotaan minum kopi dalam suasana khas coffee shop menjadi bagian dari gaya hidup. Namun, tahukah Anda bahwa di balik kesederhanaan maupun kemewahannya, kopi merupakan minuman yang sarat dengan sejarah? Kedai-kedai kopi dahulu menjadi tempat berkumpul kaum free thinkers untuk berdiskusi dan bertukar pikiran. Kopi pun pernah dilarang oleh penguasa dan diprotes perempuan. Minuman ini punya cerita yang terkait erat dengan sejarah emansipasi perempuan dan hingga saat ini kopi menjadi tanaman yang memberdayakan petani perempuan. Kalau kita bercerita tentang sejarah kopi, kita bercerita tentang perubahan.
Bagi banyak orang minum kopi adalah hal yang biasa, bahkan bagi masyarakat perkotaan minum kopi dalam suasana khas coffee shop menjadi bagian dari gaya hidup. Namun, tahukah Anda bahwa di balik kesederhanaan maupun kemewahannya, kopi merupakan minuman yang sarat dengan sejarah? Kedai-kedai kopi dahulu menjadi tempat berkumpul kaum free thinkers untuk berdiskusi dan bertukar pikiran. Kopi pun pernah dilarang oleh penguasa dan diprotes perempuan. Minuman ini punya cerita yang terkait erat dengan sejarah emansipasi perempuan dan hingga saat ini kopi menjadi tanaman yang memberdayakan petani perempuan. Kalau kita bercerita tentang sejarah kopi, kita bercerita tentang perubahan.
Charles-Joseph-Frédéric Soulacroix (1825-1879) |
Membuka
Ruang Dialog dan Spiritual
Tanaman kopi ini diketahui berasal
dari Ethiopia. Namun, kopi kemudian dibudidayakan di Yemen dan di sini metode-metode
menyeduh kopi berkembang. Konon kopi yang diketahui bisa menahan kantuk ini menemani
kaum Muslim dalam ibadah malam hari. Pada pertengahan abad 15 kopi sudah dapat ditelusuri
sebagai minuman yang disajikan ketika para lelaki berkumpul bersama dan
berdialog tentang agama. Minum kopi menjadi pengalaman sosial sekaligus
spiritual.
Kedai-kedai kopi kemudian
menjamur di daerah-daerah yang bertetangga dengan Yemen. Kopi menjadi identik
dengan Islam dan praktik ibadah kaum Muslim. Minuman ini mudah diakses baik oleh kaum
miskin dan kaya karena tidak mahal. Menurut kisah, hanya di kedai-kedai kopilah
laki-laki dari kelas sosial yang berbeda bertemu dan berinteraksi. Kedai kopi
menjadi ruang berdialog dan berwacana bagi kaum laki-laki.
Kopi
dan Kekuasaan
Karena kopi orang-orang
berkumpul bersama dan berdiskusi, maka tidak lama kemudian kopi menjadi minuman
yang meresahkan penguasa. Betapa tidak, kalau warga setiap hari berkumpul dan
membicarakan masalah keseharian, bukannya tidak mungkin muncul kesadaran politik
untuk melawan penguasa yang zalim? Oleh karena itu, dalam sejarah, sudah berapa
kali keluar larangan atas kopi. Pada 1511 di Mecca pernah ada fatwa yang
melarang kopi karena efeknya yang dianggap tidak baik. Selanjutnya, pada 1534 upaya
mengharamkan kopi di Cairo gagal karena disambut oleh kerusuhan. Murad IV,
Sultan Turki Utsmani pada abad 17 juga tidak bisa melawan kehendak rakyat meski
ia memberikan hukuman fisik hingga mati terhadap para penikmat kopi.
Hal serupa pun terjadi pada masa
kepemimpinan Raja Charles II di Inggris yang sekitar pertengahan abad 17
menutup semua kedai kopi di Inggris karena mencemaskan kekuasaannya. Apa boleh
buat, protes keras melanda negeri itu, kekuatan rakyat (laki-laki) tidak bisa
dibendung lagi dan akhirnya setelah 11 hari saja kebijakan tersebut terpaksa
dicabut. Larangan atas kopi juga terjadi di Prussia dan Swedia pada abad ke 18.
Pada abad 17 kopi masih menjadi
monopoli negara-negara Arab dan Afrika. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencuri
dan menyelundupkan biji kopi ke benua lain. Para penguasa Belanda di Asia
merupakan salah satu dari mereka yang berhasil mematahkan monopoli tersebut
dengan kesuksesan mereka menanam biji kopi “Java” pertama di Batavia, yang
hasilnya dijadikan hadiah mewah bagi para raja-raja Eropa, seperti Raja Louis
XIV. Hingga abad berikutnya, kopi merupakan tanaman yang diperebutkan karena prospek
ekonominya. Munculnya negara raja-raja kopi baru pada wilayah-wilayah baru
sepanjang sejarah, mengubah peta perpolitikan dan perdagangan, serta tatanan
perekonomian.
Perempuan hanya boleh menjadi pelayan di kedai kopi (Jan Troost) |
Demokrasi
dan Eksklusi Gender
Minuman beraroma unik ini yang
sebelum “dibaptis” dijuluki minuman setan oleh para rohaniawan Venesia, menjadi
kian populer di Eropa seiring munculnya kedai-kedai kopi di negeri itu pada
paruh kedua abad 17. Seperti di negeri Arab, kedai-kedai kopi menjadi tempat
berkumpul dan bertukar pikiran bagi para laki-laki yang pada zaman itu lebih
memiliki kebebasan untuk keluar rumah. Salah satu laki-laki yang senang
berkumpul di kedai kopi pertama dan kini tertua di Paris, Café Procope, adalah
filsuf terkenal, Voltaire.
Pada 1650-an, kedai kopi yang
marak menghiasi kota-kota di Inggris tampak menjadi ruang di mana demokrasi dan
kesetaraan dipraktikkan. Para laki-laki dari berbagai kelompok sosial–mahasiswa,
pedagang, dan kaum elit–menghabiskan waktunya di kedai kopi untuk berbincang
dan berdiskusi dengan etis. Ini terjadi mengikuti dibukanya kedai kopi pertama,
The Oxford Coffee house dekat Universitas Oxford, di mana kaum pria intelektual
muda berdiskusi dan berdebat tentang teori baru dan ide-ide inovatif.
Sayangnya semangat demokrasi
dan prinsip egaliter ini mengeksklusikan kaum perempuan. Mereka dilarang
menjadi pengunjung karena kedai kopi dianggap bukanlah tempat yang pantas bagi
perempuan terhormat. Perempuan hadir di kedai kopi pada masa itu hanya sebagai
pelayan atau kasir.
Menarik sekali bahwa pada
1675 para istri di London mengeluarkan petisi yang memprotes kopi. Bayangkan,
alih-alih pulang ke rumah setelah seharian bekerja, para suami malah nongkrong dan bercakap-cakap semalaman
di sebuah kedai kopi, sedangkan istri tinggal di rumah dan memikul tugas-tugas
rumah tangga! Tidak adil, bukan? Namun, ternyata bukan hal ini yang
dipersoalkan dalam “The Women’s Petition against Coffee”. Para istri
penandatangan petisi menganggap kopi itu harus dilarang karena membuat para
lelaki menjadi malas, kurang bergairah di ranjang, dan impoten! Petisi ini pun sempat
dibalas oleh para suami. Dapat dikatakan kopi telah mengawali “the battle of
the sexes” dalam sejarah dan mendorong bersatunya kaum perempuan sebagai
kelompok sosial.
Suffragettes
dan Flappers
Selanjutnya, ketika gerakan suffragist yang memperjuangkan hak suara
perempuan dalam pemilu di Inggris ingin mengadakan pertemuan, mereka hanya bisa
mengadakannya di tea room yang mulai
popular pada abad 19 dan yang lebih bersahabat kepada perempuan. Sementara itu,
pada 1915 kaum suffragist Amerika
Serikat sudah dapat mengadakan pertemuan di kedai-kedai kopi, salah satu yang
terkenal adalah pertemuan mereka untuk membicarakan strategi gerakan di Peg Woffington
Coffee House di kota New York pada 31 Maret 1915.
Era 1920-an tampak lebih
baik terhadap perempuan di AS. Pada era
ini perempuan sudah diperbolehkan berkunjung ke kedai kopi dan menikmati dunia
malam. Para trendsetter perempuan yang
dijuluki para “flappers” merupakan ikon era ini di AS. Mereka tampil dengan
topi khas yang menutupi kuping dan rambut pendek gaya bob serta baju terusan lebar tanpa korset yang memudahkan mereka
untuk bergerak dari satu café ke café yang lain. Di situ mereka berdansa
Charleston, bercengkerama dengan kawan perempuan dan laki-laki yang menjadi
kencannya, sambil merokok serta menikmati kopi yang disajikan secara istimewa.
Fenomena Flappers bukan sekadar sebuah fashion statement, tetapi merupakan
fenomena sosial yang muncul sebagai dampak perang. Karena penduduk laki-laki menjadi
berkurang, perempuan tidak langsung mencari suami, tetapi sekolah lagi atau
bekerja. Lebih dari itu, lahirnya flappers
sebelum Amerika memasuki era depresi ekonomi merupakan sebuah revolusi seksual sesaat,
di mana kaum perempuan muda AS menolak norma-norma tradisional dan ingin
menjalani kehidupan yang bebas dan hedonistik.
"Flappers" (www.pinterest.com) |
Minuman
Para Free Thinkers
Inovasi-inovasi dalam
penyeduhan dan pembuatan kopi sepanjang abad 19 dan 20, seperti diciptakannya
mesin espresso, terjadi seiring tumbuhnya kelompok-kelompok sosial baru dari
generasi muda kelas menengah. Kondisi ini mendorong berkembangnya kedai-kedai
kopi dengan suasana dan sajian jenis kopi yang bisa memenuhi gaya hidup para free thinkers yang kritis terhadap
pemerintahan dan senang berkumpul sambil berpikir yang berat-berat.
Pada 1950-an di AS dan Eropa
Barat, tumbuh generasi yang menjadi cikal bakal perubahan kultural era 1960-an
yang salah satunya melahirkan gerakan perempuan. Pada era ini juga muncul
gerakan antiperang yang mengecam perang Vietnam. Para tentara muda AS membuka
kedai-kedai kopi antiperang di dekat pos militer pada akhir era ini, yang
dikenal dengan sebutan GI coffeehouses.
Kedai kopi tersebut merupakan tempat untuk para tentara berkumpul, berdiskusi,
mendengarkan musik, serta merencanakan aksi-aksi protes terhadap perang.
Pendirian GI coffeehouses didukung oleh gerakan
mahasiswa dan gerakan feminis yang tumbuh pada era 1960–70-an. Kaum feminis dan LGBTQ
pun memiliki beberapa kedai kopi sebagai tempat mereka berkumpul dan berdiskusi.
Era ini juga ditandai oleh kampanye gerakan feminis untuk memengaruhi
nilai-nilai tentang peran perempuan di bidang publik sehingga turut mendorong dibukanya
sektor kerja bagi kaum perempuan di AS.
Rachel Deacon |
Kopi
dan Pemberdayaan Perempuan
Ketika perempuan memenuhi
sektor kerja formal AS ternyata pekerjaan yang tersedia bagi mereka merupakan
perpanjangan dari peran domestik mereka di rumah dan jenis pekerjaan yang
berada pada posisi bawah hirarki perusahaan. Kalau mereka membuat kopi untuk
suami di rumah, maka mereka membuatnya di kantor untuk atasan-atasan mereka
yang umumnya laki-laki. Selain itu, tenaga kerja perempuan terserap pada
bidang-bidang pelayanan sesuai dengan stereotip peran perempuan–menawarkan kopi
atau teh dengan wajah manis. Kenyataan ini menuai kritik pedas dari gerakan
feminis AS dan hingga kini isu perempuan dan kerja menjadi isu sentral dalam
perjuangan kaum feminis, bukan hanya di AS.
Inovasi berupa diciptakannya
drip coffee maker di AS pada 1972 membuat
kopi lebih praktis dan mudah untuk disajikan, baik di rumah maupun di kantor. Mesin
kopi ini bersama alat-alat hasil inovasi lainnya (seperti mesin cuci pakaian
dan piring) yang membuat kerja rumah tangga lebih mudah dan efisien menjadi
idaman para ibu rumah tangga kelas menengah perkotaan AS. Inovasi teknologi
tersebut mendukung perempuan untuk beraktivitas di luar rumah karena mengurangi
waktu yang dihabiskan untuk pekerjaan rumah tangga. Sayangnya, ia tidak
dibarengi dengan inovasi pada perubahan pembagian kerja berdasarkan jenis
kelamin. Alat-alat tersebut tetap dilekatkan pada peran domestik perempuan.
Bagaimana dengan perempuan
perdesaan, khususnya mereka yang menghasilkan kopi yang tinggal kita nikmati?
Para perempuan di negara-negara penghasil kopi seperti di Peru, Meksiko, Nicaragua,
dan juga Indonesia hidup termarginalisasi. Sebagai upaya untuk meningkatkan
kehidupan perempuan miskin di milenium ini, perempuan-perempuan di berbagai
negara penghasil kopi dibangun kapasitasnya dalam bertani dan menjual kopi
untuk memperbaiki kehidupan ekonomi mereka, di samping untuk membangun
kepemimpinan dan kemandirian mereka. Pemberdayaan perempuan petani ini
diharapkan akan mengubah pola relasi gender yang timpang di komunitas mereka. Sebanyak 470 perempuan petani kopi Indonesia
menjadi anggota Koperasi Kopi Wanita Gayo (KKWG), organisasi kopi petani
perempuan pertama di Asia Tenggara yang didirikan pada 2014.
Charles Kaufman |
Bukan main panjang
perjalanan sejarah manusia yang telah diiringi oleh kopi. Hingga kini pun kedai
kopi masih dimanfaatkan sebagai ruang untuk bertukar pikiran dan menggagas
hal-hal baru. Di Jakarta pun sejak beberapa tahun terakhir, gerakan perempuan
bersama gerakan sosial-politik lainnya juga memanfaatkan kedai kopi sebagai
tempat berkumpul dan berdiskusi. Salah satu contohnya adalah pertemuan rutin
yang diadakan di kedai kopi Tjikini 17, di mana para aktivis dan masyarakat
bertemu dan membicarakan isu-isu gender, di samping mengumpulkan dana bagi upaya-upaya
untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan.
Mari berkumpul dan minum
kopi bersama serta membuat perubahan!
Sumber
Cole, Adam (2012) ‘Drink Coffee? Off with Your Head!’ NPR The Salt [dalam jaringan] <http://www.npr.org/sections/thesalt/2012/01/10/144988133/drink-coffee-off-with-your-head>
[30 Juli 2016].
Fair Trade International (2016) Early Sounds of Success for
South East Asia’s First All-Women Coffee Cooperative
[dalam jaringan] <ww.fairtrade.net/producers/meet-the-producers/meet-the-producers-details/article/early-sounds-of-success-for-south-east-asias-first-all-women-coffee-cooperative.html> [22 Agustus 2016].
Frontier to Heartland (2009) ‘Sexual Revolutions.’ Newberry Library [dalam jaringan] <http://publications.newberry.org/frontiertoheartland/exhibits/show/perspectives/dillpickle/sexualrevolutions>
[21 Agustus 2016].
GoCoffeeGo (2016) The
History of Coffee by Professor Peabody [dalam jaringan] <http://www.gocoffeego.com/professor_peaberry/history_of_coffee/1900>
[20 Agustus 2016].
Grounds for Change (2016) The Story of Cafe Femenino Coffee [dalam
jaringan] <http://www.groundsforchange.com/communities/cafe_femenino.php>
[21 Agustus 2016].
Mental Floss (2009) The Rise of the Flapper [dalam jaringan] <http://mentalfloss.com/article/22604/rise-flapper>
[21 Agustus 2016].
Seekershub (2016) Coffee,
Worship and the Meaning of Life [dalam jaringan] <http://seekershub.org/blog/2016/04/coffee-worship-meaning-life/
> [21 Agustus 2016].
Seekershub (2016) The
History of Coffee and its Role in Muslim Worship <http://seekershub.org/podcast/2016/04/27/history-islam-coffee/>
[21 Agustus 2016].
Socialistworker.org (2007) The Story of the GI Coffee Houses [dalam jaringan] <http://socialistworker.org/2007-2/656/656_10_Coffeehouses.shtml>
[20 Agustus 2016].
The Guardian (2016) Empowering
Women in Coffee Production [dalam jaringan] <https://www.theguardian.com/sustainable-business/fairtrade-partner-zone/empowering-women-coffee-production>
[30 Juli 2016].
The Pilot’s Blog (2013) 5 Crazy Attempts to Ban Coffee [dalam jaringan] <https://www.theroasterie.com/blog/5-crazy-attempts-to-ban-coffee/>
[28 Agustus 2016].
(Revised 1 September 2016)
No comments:
Post a Comment