Saya ingin menegakkan
perlindungan terhadap “women’s rights,
gay rights, and… voting rights” serta melindungi “the struggling middle-class”, ungkap Hillary Clinton Oktober
lalu, saat diwawancarai pada The Late
Show, sebuah talk show malam yang
ditayangkan di AS. Apakah pernyataan ini akan mengubah citra Clinton dan
menjaring lebih banyak pemilih?
Pasalnya, selama karier
politiknya, pendirian Clinton terkait hak-hak perempuan dan kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dianggap
kurang tegas dan ambivalen oleh sebagian masyarakat AS. Bahkan kefeminisan
Clinton sendiri kini sedang dipertanyakan oleh konstituen perempuan AS.
Keraguan
terhadap Clinton
Keraguan terhadap Clinton
tidak berubah meski dalam kampanyenya Clinton mengangkat isu-isu tentang hak
perempuan atas upah yang sama, hak atas aborsi, dan pendidikan anak usia dini. Clinton
menggelar inisiatif-inisiatif ekonomi yang disebut beberapa media sebagai
inisiatif ekonomi properempuan, yakni cuti melahirkan yang dibayar, pengaturan
waktu kerja yang lebih bersahabat terhadap ibu, dan tempat penitipan anak yang
lebih terjangkau harganya.
Feminis milenium Amerika ingin perubahan yang lebih radikal daripada yang ditawarkan Clinton (Foto Hillary Clinton: www.kirramagazine.com) |
Clinton bahkan mendukung
peningkatan upah minimum yang ia anggap akan membantu banyak perempuan,
termasuk perempuan orang tua tunggal, yang biasanya sangat rentan terperosok ke
dalam kemiskinan. Hal ini bertentangan dengan persepsi umum terhadap Clinton
yang selama ini memandangnya kurang memperhatikan kondisi perempuan miskin.
Masalahnya, masih banyak perempuan
Amerika berpendapat bahwa Clinton belum keluar dari perspektif feminisme
gelombang kedua. Perspektif ini dikritik hanya memperjuangkan hak-hak perempuan
dari sudut pandang kaum perempuan kelas menengah terpelajar–yang di AS
mayoritas adalah dari keluarga kulit putih.
Banyak juga yang mengecap
Clinton sebagai seorang ‘corporate
feminist’. Kebijakan-kebijakannya dipandang mengabaikan opresi yang
bersifat sistematis dan lintas kelompok sosial-ekonomi, serta hanya
menguntungkan kalangan perempuan yang memang sudah relatif baik posisinya.
Pandangan tersebut menumbuhkan
keraguan terhadap kepemimpinan Clinton, terutama pada perempuan-perempuan muda
AS. Menurut mereka, feminisme modern sudah banyak meninggalkan perspektif lama
yang dikembangkan feminisme gelombang kedua yang bias kelas menengah dan kulit
putih.
Generasi perempuan muda
Amerika menginginkan pemimpin perempuan yang merepresentasikan pluralitas. Bagi
mereka, feminisme bukan saja menyangkut persamaan hak antara perempuan dan
laki-laki, tetapi mencakup perjuangan melawan ketidakadilan sosial dan
kemiskinan, serta perjuangan menegakkan hak-hak kelompok yang terpinggirkan.
Feminisme
Gelombang Kedua
Feminisme
gelombang kedua ditandai oleh meluasnya gerakan feminisme liberal di AS dan
negara-negara Eropa Barat pada era 1960-an–1970-an. Gerakan ini memperjuangkan
kesetaraan hak-hak perempuan di pelbagai bidang kehidupan–baik di domain publik
maupun privat–terutama melalui pembaruan hukum.
Feminisme
liberal mendorong perbaikan sistem ekonomi dan politik dengan menggunakan strategi
protes dan lobi negara, di samping mendukung ditempatkannya perempuan-perempuan
yang dianggap tepat pada posisi-posisi strategis di pemerintahan. Pemikiran
feminisme liberal menekankan pada kebebasan individu, otonomi perempuan, dan
kontrol perempuan terhadap tubuhnya sendiri, yang semuanya dipandang dapat
diraih di bawah reformasi sistem negara.
Era
gerakan feminisme ini sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan feminis AS
seperti Betty Friedan (Feminine Mystic,
1963) dan Gloria Steinem (After Black
Power, Women’s Liberation, 1969) yang membangkitkan kesadaran masyarakat
tentang diskriminasi terhadap perempuan di domain publik. Tak dapat dipungkiri
bahwa pemikiran feminis liberal menghadirkan pencerahan yang luar biasa dahsyat,
terutama di tengah-tengah era demokrasi masyarakat Amerika ketika itu. Banyak
perubahan yang meningkatkan status perempuan setelah era 1960-an yang merupakan
hasil jerih payah kaum feminis liberal.
Meski
demikian, kritik keras tidak hanya datang dari gerakan kiri, tetapi juga dari
aliran gerakan feminisme lainnya. Seperti yang sudah disinggung di atas, aliran
ini dipandang lebih menyuarakan kepentingan perempuan kelas menengah kulit
putih. Oleh karena itu, ia tidak akan banyak memengaruhi upaya pembebasan
perempuan pekerja atau kelas bawah yang memang dari dulu sudah aktif bergelut
di domain publik pada posisi-posisi kerja yang buruk—bekerja mencari nafkah
untuk menyambung hidup dan bukan karena pilihan hidup.
Pemisahan dua wilayah
kehidupan menjadi publik (kehidupan sosial dan politik) dan privat (kehidupan
keluarga dan pribadi) melandasi baik doktrin liberal maupun filsafat hukum AS.
Pemisahan ini–yang disokong oleh sebuah model tradisional pembagian kerja
berdasarkan jenis kelamin–dikritik feminsime liberal sebagai hal yang mengaburkan
ketidaksetaraan gender di bawah asumsi-asumsi mengenai apa yang dipandang
alamiah dan logis.
Dikotomi tersebut tidak
mengakui adanya hubungan kekuasaan dalam relasi gender dan menutup mata
terhadap diskriminasi terhadap perempuan, kekerasan terhadap perempuan,
pelecehan seksual, dan beban kerja domestik perempuan.
Fokus utama aliran feminisme
liberal untuk mengubah kondisi tersebut adalah dengan memberikan perempuan hak
yang sama untuk berpartisipasi di domain publik dan dengan melakukan pembaruan-pembaruan
hukum untuk melindungi hak perempuan. Namun, upaya ini tidak disertai kampanye
yang cukup kuat untuk mengubah kondisi di domain privat. Dampaknya adalah beban
ganda bagi perempuan kelas menengah dan tingkat kekerasan terhadap perempuan
yang tetap tinggi, di samping tidak banyak perubahan kondisi hidup bagi
perempuan pekerja dan miskin.
Agenda politik yang lebih banyak
memfokus pada kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki di bawah sistem
ekonomi liberal-kapitalis nyatanya tidak dapat menjangkau kepentingan kelompok
miskin dan mereka yang terpinggirkan.
Beyonce:
Feminisme menjadi Mainstream
Meski adanya berbagai isu di
atas, keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai feminisme liberal telah
membawa feminisme dari sebuah demonstrasi di jalanan menjadi isu yang disorot media
secara luas, hingga memasuki ruang privat rumah tangga-rumah tangga masyarakat
Amerika. Dapat dikatakan, istilah feminisme mulai memasuki mainstream masyarakat Amerika.
Bukan saja tokoh politik
perempuan seperti Hillary Clinton yang mengaku sebagai feminis, ikon-ikon
perempuan, seperti bintang film atau penyanyi–dengan interpretasinya terhadap feminisme–kini
menyebut dirinya sebagai feminis. Hal yang telah menyulut kontroversi belum
lama ini adalah pengakuan bintang pop kulit hitam, Beyonce, bahwa dirinya
adalah seorang feminis.
Seksualitas dan kekuasaan
menjadi isu yang ramai diperbincangkan di media setelah Beyonce berdiri di atas
panggung menampilkan bayangan lekuk tubuhnya dengan tulisan FEMINIST sebagai
latar belakang. “Apakah mempertontonkan tubuh dengan pakaian yang minim dan
gerakan sensual merupakan hal yang feminis?” “Tetapi, Beyonce memilki kendali
atas tubuhnya sendiri dan, bagai seorang dewi, dia mencitrakan keberdayaaan
seorang perempuan.” “Apa iya Beyonce patut
disebut feminis?” “Apakah aksi di panggung tersebut hanyalah strategi marketing?” Begitu kira-kira tanggapan
yang muncul di berbagai media.
Kecantikan, keelokan tubuh, dan kekayaan menjadi sumber keberdayaan—hal yang sebenarnya pertama kali dilawan oleh feminisme sebagai gerakan (Foto Beyonce: www.eurweb.com) |
Memang harus diakui, tidak
ada definisi tunggal terhadap feminisme. Oleh karena itu, menarik untuk mengamati
bahwa (re)interpetasi berbagai ikon perempuan Amerika terhadap feminisme liberal tampaknya memberi pembenaran terhadap objektivikasi tubuh perempuan. Kecantikan
tubuh menjadi bagian dari identitas perempuan yang berdaya. Kecantikan, keelokan
tubuh, dan kekayaan menjadi sumber keberdayaan—hal yang sebenarnya pertama
kali dilawan oleh feminisme sebagai gerakan.
Unjuk kecantikan tubuh yang diterjemahkan
sebagai kekuatan, keberdayaan, dan kendali memang mengundang banyak kontroversi
karena apa yang didefiniskan sebagai cantik selama ini masih banyak ditentukan oleh
persepsi laki-laki. Apakah penghargaan dan sanjungan yang sama akan diperoleh bila
aksi panggung tersebut dilakukan oleh seorang perempuan yang dipandang gemuk
dan tidak ‘cantik’?
Di luar masalah penampilan
fisik, sejalan dengan pandangan liberalisme, gagasan yang berkembang tentang
pemberdayaan dan kesetaraan perempuan tampaknya sangat menekankan pada elemen individu
sebagai agen perubahan. Walaupun hal ini sangat baik, ia mengalihkan perhatian
dari faktor-faktor signifikan lainnya terkait struktur masyarakat dan sistem
ekonomi yang menghalangi kemajuan perempuan. Pesan para artis yang mewacanakan
bahwa dengan motivasi dan usaha seseorang bisa berhasil menggapai impiannya, sayangnya
bisa menyesatkan.
Meski ada saja kasus khusus,
pada umumnya perjuangan individual akan lebih mudah dicapai oleh mereka yang
berasal dari latar belakang sosial-ekonomi yang membuka peluang dan memudahkan akses
terhadap modal sosial dan kapital. Berarti, perjuangan individual tersebut akan
lebih mungkin dimenangkan oleh mereka yang memiliki akses tadi dan oleh karena
itu, perjuangan semacam ini sebenarnya merupakan impian yang mengeksklusikan
sebagian besar masyarakat, seperti kaum perempuan pekerja dan miskin. Masyarakat
jadi lebih menyukai cerita perjuangan ‘from
rags to riches’ daripada memikirkan
sebuah perjuangan kolektif untuk mengubah sistem yang ada.
Tuntutan
Generasi Milenium
Tak bisa dipungkiri, Beyonce
adalah inspirasi bagi generasi perempuan muda, terutama bagi perempuan nonkulit
putih, mengingat perjuangannya untuk mencapai kesuksesan dalam industri musik
Amerika yang masih seksis dan rasis. Namun, di tengah-tengah berkembangnya
wacana feminisme liberal yang disebarkan ikon-ikon pop kepada kaum muda melalui
TV dan media sosial, secara bersamaan terdapat kelompok generasi milenium
Amerika yang melihat pemberdayaan perempuan dengan lebih kritis.
Mereka tampaknya meyakini
sebuah feminisme dengan perspektif yang lebih peka terhadap pentingnya
pluralisme serta menyadari bahwa ketidakadilan sosial di bawah demokrasi-liberal
selama ini telah menciptakan kesenjangan di pelbagai bidang kehidupan.
Kembali kepada Hillary Clinton,
oleh kaum liberal, Clinton malah disebut neokonservatif karena kebijakan-kebijakannya
tidak secara konsisten memperjuangkan keadilan gender. Pandangan ini muncul
kuat meski Clinton mengklaim bahwa kebijakan-kebijakannya pada masa ia menjabat
sebagai Menteri Luar Negeri AS merupakan kebijakan feminis.
Meski Clinton sepertinya
telah berhasil membawa feminisme ke dalam mainstream
politik Amerika, sebagian perempuan muda Amerika tetap menilai bahwa bila
Clinton menjabat sebagai presiden, pendekatan-pendekatannya akan cenderung
konservatif. Mereka tidak percaya bahwa Clinton akan bisa membawa
perubahan-perubahan yang mereka inginkan. Mungkin ini karena terdapat generasi
muda Amerika yang telah memahami feminisme secara berbeda, melampaui
gagasan-gagasan yang dikembangkan feminisme liberal, apalagi wacana mainstream tentang feminisme.
Kelompok muda tersebutlah
yang menginginkan sebuah pendekatan lebih radikal daripada yang ditawarkan oleh
Clinton. Namun, yang merupakan pertanyaan penting–bagaimana generasi milenium ini
akan menempatkan pendekatan yang lebih radikal tersebut di dalam konteks politik
dan ekonomi AS? Sejarah akan menjadi saksi….
Sumber
Alter, Charlotte (2015)
‘Meet the Women Who Say There’s a Better Feminist in the Race Than Hillary
Clinton.’ Time [dalam jaringan]
<http://time.com/4107286/hillary-clinton-bernie-sanders-women-new-hampshire-2016/> [28 November 2015].
Asaro, Andrea (1983) ‘The
Public Private Distinction in American Liberal Thought: Unger’s Critique and
Synthesis.’ American Journal of
Jurisprudence Vol. 28 (1), Article 6 [dalam jaringan]
<http://scholarship.law.nd.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1317&context=ajj> [28 November 2015].
Bunting, Madeleine (2011) Clinton is Proving that a Feminist Foreign
Policy is Possible–and Works [dalam jaringan]
<http://www.theguardian.com/commentisfree/cifamerica/2011/jan/16/hillary-clinton-feminist-foreign-policy> [28 November
2015].
Crocer, Lizzie (2015) ‘Why
Millennial Feminists Don’t Like Hillary.’ The
Daily Beast [dalam jaringan]
<http://www.thedailybeast.com/articles/2015/10/05/why-millennial-feminists-don-t-like-hillary.html> [28 November 2015].
Higgins, Tracy E. (2004)
‘Gender, Why Feminists Can’t (or Shouldn’t be) Liberals’. Fordham Law Review Vol. 72 (5), Article 12
<http://ir.lawnet.fordham.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=3966&context=flr> [28 November 2015].
Hobson, Janell (2015) ‘Beyonce’s Fierce Feminism.’ Ms.blog Magazine <http://msmagazine.com/blog/2015/03/07/beyonces-fierce-feminism/>
[10 Desember 2015].
Hubbard, Adrienne (2015)
‘The Oxymoron that is Corporate Feminism.’ That
Opinion [dalam jaringan] <http://thatopinion.com/corporate-feminism/>
[10 Desember 2015].
Kearly, Kendyl (2015) 7 Feminist Aspects of Hillary Clintons
Economic Plan that Would Change Everything for Women in America [dalam
jaringan]
<http://www.bustle.com/articles/96809-7-feminist-aspects-of-hillary-clintons-economic-plan-that-would-change-everything-for-women-in-america>
[28 November 2015].
Mirhashem, Molly (2015)
‘What Young Feminists Think of Hillary Clinton.’ National Journal [dalam jaringan]
<http://www.nationaljournal.com/s/27066/what-young-feminists-think-hillary-clinton> [28 November 2015].
The Guardian (2015) Hillary Clinton Likens GOP Candidates to
Terrorists for 'Extreme' Views on Women [dalam jaringan]
<http://www.theguardian.com/us-news/2015/aug/27/hillary-clinton-republicans-terrorists-women>
[28 November 2015].
Tucker, Ken (2015) Hillary on 'Colbert': Talking 'House of
Cards' Murders and Letting Banks Fail [dalam jaringan] <https://www.yahoo.com/tv/hillary-clinton-colbert-trump-111536246.html>
[29 Oktober 2015].
Vagianos, Alanna (2015) ‘Why
Beyoncé's Latest ‘Feminist’ Move Was So Problematic.’ Huffpost Women [dalam jaringan]
<http://www.huffingtonpost.com/entry/why-beyonces-latest-feminist-move-was-so-problematic_55eee575e4b093be51bc05aa>
[10 Desember 2015].
Vidal, Ava (2014) Intersectional Feminism: What the Hell is it
and Why You Should Care [dalam jaringan]
http://www.telegraph.co.uk/women/womens-life/10572435/Intersectional-feminism.-What-the-hell-is-it-And-why-you-should-care.html
[28 November 2015].
Worker’s Liberty (2011) Liberal Feminism: The Individual is Key
[dalam jaringan]
<http://www.workersliberty.org/story/2011/11/24/liberal-feminism-individual-key> [8 Desember 2015].
Young, Kevin and Diana C. Sierra Becerra (2015)
‘Hillary Clinton and Corporate Feminism.’ Solidarity
[dalam jaringan] <http://www.solidarity-us.org/node/4390> [28 November 2015].
Kalau aku sih, kasihlah Hillary Clinton kesempatan. Kapan lagi Amerika Serikat punya presiden perempuan. Masak lebih dari 300 tahun bernegara, laki-laki melulu yang jadi presiden?
ReplyDelete