Pada
11 November 1887 di sebuah kota di Amerika Serikat, empat orang pria berlangkah
lambat di bawah kebisuan langit malam. Hanya suara mereka yang melantunkan lagu
kebangsaan Perancis…lagu yang menjadi simbol revolusi masa itu…yang mengusik
kesunyian malam. Mereka terus berjalan sambil bernyanyi, mengangkat kaki
langkah demi langkah, menelusuri jalan menuju tiang gantungan. Sesampainya di tempat
di mana mereka akan dieksekusi, masyarakat sudah menunggu untuk menyaksikan
hukuman mati yang mungkin paling bersejarah sepanjang abad itu.
It’s a nice day for a
revolution…slogan
inilah yang kemudian diusung kaum anarkis abad 21 ketika mereka turun ke jalan,
memenuhi jalan-jalan raya, memakai topeng pria tersenyum lebar dengan kumis
tipis panjang. Topeng Guy Fawkes yang ditampilkan dalam komik V for Vendetta menjadi identitas global
gerakan anarkisme internasional.
Anarkisme
merupakan filsafat politik yang menentang otoritas, hierarki, dan kapitalisme, serta
yang ingin mencapai sebuah masyarakat bebas (free society) dan dunia tanpa negara (stateless society). Filsafat anarkis ini dapat ditemukan
asal-usulnya dari filsafat Taoisme dan ada yang berpendapat bahwa gagasan-gagasan
anarkis juga ditemukan dalam sejarah berberapa agama besar. Beberapa pemikir
yang dihubungkan dengan filsafat anarkisme adalah Pierre-Joseph Proudhon, Mikhail
Bakunin, William Godwin, dan Peter Kropotkin.
spacesofhope.org |
Salah
satu peristiwa bersejarah yang terkait erat dengan gerakan anarkisme adalah
Kerusuhan Haymarket yang terjadi pada 4 Mei malam hari di kota Chicago, Amerika
Serikat pada tahun 1886, ketika kaum
buruh melakukan unjuk rasa untuk mengangkat isu peraturan 8 jam kerja yang
belum diimplementasikan. Unjuk rasa ini awalnya berlangsung damai di bawah
rintik-rintik hujan meski dipenuhi oleh orasi yang berapi-api. Tak disangka
bahwa dalam sekejap semuanya dapat berubah
menjadi kaos di kegelapan malam ketika seseorang tak dikenal melemparkan bom-dinamit
rakitan terhadap seorang polisi yang sedang menghampiri massa. Pada 11 November tahun berikutnya, setelah
sebuah pengadilan rekayasa digulirkan, empat anarkis dihukum mati—meski tanpa
bukti kuat. Vonis yang kontroversial ini menandai salah satu masa paling kelam
dalam sejarah pengadilan Amerika Serikat. Tak diduga, peristiwa ini memiliki
dampak internasional yang amat besar. Hari Buruh Sedunia 1 Mei atau yang
dikenal sebagai May Day merupakan
peringatan atas perjuangan memperoleh 8 jam kerja dan Kerusuhan Haymarket serta
rangkaian peristiwa terkait yang mengorbankan nyawa para martir anarkis Amerika.
Perlawanan terhadap
Negara/Patriarkat
Hukuman
mati terhadap para anarkis pada 1887 ini
membuka mata dan mengobarkan semangat aktivisme para anarkis lainnya, termasuk
kaum anarkis perempuan—seperti Emma Goldman dan Voltairine de Cleyre—yang
kemudian mengembangkan anarkisme yang melihat perempuan sebagai kelompok
tertindas. Mereka tidak saja memasukkan kebebasan dan kesetaraan kaum perempuan
ke dalam agenda anarkisme, mereka juga mengkritik kaum anarkis laki-laki yang
dalam kehidupan pribadinya tidak memperlakukan perempuan dengan adil. Kaum
anarkis perempuan menegakkan “the personal is political” di dalam pemikiran dan
praktik anarkisme.
Goldman
merupakan sosok anarkis yang sangat terkenal dan kerap disebut sebagai pendiri feminisme
anarkis atau yang disebut juga anarko-feminisme. Aliran ini melihat bahwa perlawanan
terhadap sistem patriarkat bukan saja sebagai perlawanan terhadap seksisme, melainkan
juga merupakan bagian dari perjuangan kelas serta perjuangan melawan rasisme
dan menghapuskan negara. Goldman juga merupakan anarkis pertama yang mendukung
pengakuan terhadap homoseksualitas, gagasan yang turut mendukung berkembangnya
gerakan queer anarchism. Goldman
mengelola jurnal Mother Earth (1906–1917)
yang merupakan corong bagi pemikiran-pemikiran anarkis masa itu dan menulis
buku Anarchism and Other Essays
(1910).
Kekuasaan
dan negara merupakan isu sentral bagi kaum anarkis, termasuk kaum anarko-feminis.
Paradigma ini mirip dengan pandangan aliran feminisme radikal yang melihat baik
kekuasaan maupun kekuasaan negara sebagai sumber opresi perempuan. Keduanya
melihat negara sebagai manifestasi dari kekuasaan, namun bagi feminisme radikal
hal ini lebih dijelaskan lagi sebagai manifestasi kekuasaan patriarkat. Bagi
feminisme radikal, negara dan partriarkat merupakan dua sisi dari mata uang
logam yang sama. Feminisme radikal dan anarko-feminisme menanggap bahwa
patriarkat diinstitusionalisasikan melalui negara; artinya menghancurkan negara
sama dengan menghancurkan patriarkat, melawan negara berarti melawan sistem
patriarkat.
Kebebasan
manusia merupakan isu sentral lainnya dalam anarkisme yang mencakup kebebasan
individual, kebebasan dari kekerasaan, penindasan, dan keterpaksaan–isu-isu
yang juga mengambil perhatian feminisme radikal.
Dalam
utopianisme kaum anarkis secara umum, setelah negara berhasil dihapuskan, tidak
akan muncul sebuah kelompok elit baru yang berkuasa. Dalam hal ini, anarkisme memiliki
titik temu dengan feminisme radikal karena keduanya memandang bahwa sosialisme
dan Marxisme akan menciptakan bentuk otoritas baru dan komunisme yang
dipaksakan. Namun, ada perbedaan yang cukup mendasar, yakni untuk mencapai
tujuannya, kaum anarkis tidak akan bekerja sama dengan negara, sementara
sebagian feminis radikal dalam batas-batas tertentu menggunakan negara sebagai
alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Karena sikap anarkisme yang
anti-advokasi, menolak melobi, bernegosiasi, dan bekerja sama dengan pihak
negara, maka ia menentang gerakan feminisme liberal yang strateginya berfokus
pada hal-hal ini. Goldman dan De Cleyre jelas-jelas menunjukkan sikap mereka
yang mendukung kesetaraan jenis kelamin, tetapi menentang gerakan kaum suffragist yang mengadvokasi hak pilih
kaum perempuan.
anonymousartofrevolution.com |
Meski
secara umum dikenal dua aliran utama dalam anarkisme, yakni anarkisme
individualis dan anarkisme sosial, anarkisme sebenarnya terdiri dari berbagai
aliran dengan beberapa tujuan dan strategi yang berbeda. Persamaan yang
dimiliki antara berbagai aliran ini adalah sikap yang antiotoritas dan antinegara
serta menjunjung tinggi kebebasan individual dan kooperasi. Persamaan lainnya
adalah strategi yang menggunakan aksi langsung dengan pengembangan gerakan yang
nonhierarki dan menjangkau akar rumput, seperti kaum pekerja dan petani. Visi
masyarakat yang mereka anut adalah masyarakat yang bebas, egaliter, dan tanpa
negara. Beragam aliran yang ada juga mendukung sistem perekonomian yang
berbeda, seperti sistem yang ingin membangun perbankan alternatif atau sistem ekonomi
yang partispatoris, dan yang ingin menghapus kepemilikan pribadi. Asas sukarela
dan kebebasan berorganisasi dan berkreasi serta kontrol masyarakat terhadap
institusi ekonomi yang terdesentralisasi merupakan ciri-ciri utama sistem
ekonomi anarkis.
Dalam
perkembangannya, anarkisme kerap dilekatkan pada isme-isme lain seperti
komunisme, libertarianisme, dan feminisme. Hal ini melahirkan gerakan anarkisme
tanpa adjektiva. De Cleyre, yang menulis esai Sex Slavery (1895) dan They Who Marry Do Ill (1907)—karya-karya
yang merupakan kritik keras terhadap institusi perkawinan dan relasi gender—terkenal
sebagai pendukung anarkisme tanpa adjektiva. Ia menyebut dirinya sebagai
penganut anarkisme semata.
Isu-isu dalam
Anarkisme Kontemporer
Dalam
sejarah, praksis anarkisme ditemukan dalam masyarakat-masyarakat seperti the
Paris Commune pada 1871 dan beberapa daerah di Spanyol ketika Revolusi Spanyol
pada 1936. Di luar Amerika dan Eropa,
gerakan-gerakan anarkisme juga berkembang, seperti di Afrika. Di beberapa negara
Asia pada abad 19 dan 20, seperti di Jepang, Korea, Cina, dan Vietnam terdapat
gerakan-gerakan anarkisme yang akhirnya ditumpaskan oleh pemerintah.
Dalam
perkembangan anarkisme, kekerasan merupakan metode yang dikenal digunakan para
anarkis sebagai strategi untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Namun, setelah
Perang Dunia Kedua, strategi ini cenderung ditinggalkan. Isu-isu seputar
strategi masih menjadi perdebatan dalam anarkisme kontemporer.
Salah
satu kritik utama terhadap anarkisme adalah adanya kesenjangan antara pemikiran
dan strategi. Strategi memang merupakan perdebatan di dalam kubu anarkisme
sendiri. Ada yang menganggap anarkisme kini lebih bergelut pada gaya hidup dan
pilihan hidup yang tidak mau terlibat dengan institusi-institusi negara sehingga
strategi-strategi politik untuk mencapai tujuan gerakan tidak berkembang. Salah
satu perdebatan adalah keikutsertaan anarkis dalam pemilihan wakil-wakil
negara. Mereka yang ingin setia pada anarkisme menganggap keterlibatan dalam
kegiatan politik negara adalah pengingkaran terhadap politik anarkisme,
sedangkan sebagian lain menganggap hal ini sebagai taktik politik. Selain itu,
muncul kritik bahwa anarkisme yang berkembang saat ini mengabaikan negara
sebagai musuh yang harus dilumpuhkan dan hanya berfokus pada capaian-capaian
jangka pendek.
Pada
tahun 1980-an, terutama di beberapa negara Barat, anarkisme menjadi bagian dari
budaya pop, seni, dan musik punk, serta menjadi gaya hidup yang menentang
pemerintah dan kapitalisme. Di Indonesia, pada akhir 1990-an punk kerap
dikaitkan dengan gerakan anarkisme. Sebagai aktivisme politik, beberapa sumber
media mengatakan bahwa di Indonesia dapat ditemui jejaring-jejaring anarkisme
baik dalam negeri maupun yang berskala internasional.
Diskusi-diskusi
yang selanjutnya berkembang mengenai anarkisme berkisar pada posanarkisme atau
anarkisme modern yang menekankan pada pluralitas dan mengkritik eurosentrisme
yang selama ini menyokong anarkisme. Anarkisme juga telah berkembang menjadi berbagai
filsafat dan gerakan baru, seperti green
anarchism (eco-anarchism) yang berfokus pada isu lingkungan, anarcho-pacifism yang menentang
penggunaan kekerasan dalam upaya pencapaian perubahan sosial, dan post-left wing anarchism yang membangun
kritik terhadap hubungan anarkisme dengan politik sayap kiri.
‘Revolusi’ sebagai Praksis
fromupnorth.com |
Meski
ada beberapa filsafat yang mendasari anarkisme, tetapi pada prinsipnya
anarkisme antiteori besar dan antidoktrin sehingga tidak memiliki konsep dan
strategi yang lebih sistematis untuk mendorong sebuah revolusi. Ketika turun ke
jalan pun, para anarkis sejati tidak menyampaikan tuntutan apa pun kepada
negara karena menuntut berarti sama saja bersedia bernegosiasi dengan negara.
Namun,
sebagian anarkis melihat anarkisme sebagai bagian dari praktik kehidupan
sehari-hari dan bahwa melalui perlawanan atau rebellion, dapat dicapai revolusi-revolusi kecil yang mengarah pada
kemajuan gerakan. Melalui counter-culture,
pengembangan institusi alternatif, dan penjangkauan kepada masyarakat akar rumput,
diasumsuikan anarkisme akan berkembang menjadi bagian dari kehidupan dan praksis
politik sehari-hari individu. Asumsi ini, yang terutama dianut oleh kaum
anarkis individualis, menunjukkan sisi reformis dari anarkisme. Bagi kaum
feminis radikal dan juga para anarko-feminis, agenda para anarkis ini akan
menguatkan upaya untuk melenyapkan opresi berbasis kekuasaan gender dan
praktik-praktik seksual masyarakat yang opresif…. Memang hari yang indah untuk
sebuah revolusi (seksual).
.
Referensi
Anarchist Writers (2008) A.3 What types of anarchism are there? [dalam jaringan] <http://anarchism.pageabode.com/afaq/secA3.html> [30 Agustus 2015].
Berger,
Dominic (2013) ‘Indonesia’s new anarchists.’
Inside Indonesia 113: Jul–Sep 2013
[dalam jaringan]
<http://www.insideindonesia.org/indonesia-s-new-anarchists> [30
Agustus 2015].
Campbell, Michelle M. (2013) ‘Voltairine de Cleyre and the Anarchist.’ Blasting the Canon Anarchist Developments in Cultural Studies [dalam jaringan] <http://anarchist-developments.org/index.php/adcs_journal/article/view/56/59> [31 Agustus 2015].
Ehrlich, Howard J. (1994) ‘Toward a General Theory of Anarchafeminism.’ Social Anarchism No. 19 [dalam jaringan] <http://library.nothingness.org/articles/SA/en/display/358> [30 Agustus 2015].
Evern,
Surëyyya (2006) Postanarchism and the ’3rd
world’ [dalam jaringan] <http://theanarchistlibrary.org/library/sureyyya-evren-postanarchism-and-the-3rd-world>
[19 September 2015].
Gemie, Sharif (1996) ‘Anarchism and
Feminism: A Historical Survey.’ Women's
History
Review 5:3, 417-444 [dalam jaringan] <http://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/09612029600200123>
[30 Agustus 2015].
Kerl,
Eric (2010) ‘Contemporary Anarchism.’ International Socialist Review Issue 72 [dalam jaringan]
<http://isreview.org/issue/72/contemporary-anarchism> [19 September 2015].
Maddock,
Kenneth (1996) ‘Pluralism and Anarchism.’ Red
and Black No. 2 [dalam jaringan] <http://theanarchistlibrary.org/library/kenneth-maddock-pluralism-and-anarchism>
[19 September 2015].
Maiguashca, Bice (2014) ‘‘They’re
Talkin’ Bout a Revolution’: Feminism, Anarchism and the Politics of Social
Change in the Global Justice Movement.’ Feminist
Review [dalam jaringan] <Feminist Review (2014) 106, 78–94.
doi:10.1057/fr.2013.36‘they’re talkin’ bout a revolution’: feminism, anarchism
and the politics of social change in the global justice movementBice
Maiguashca> [30 Agustus
2015].
Presley, Sharon (2000) ‘No Authority But Oneself: The Anarchist
Feminist Philosophy of Autonomy and Freedom.’ Social
Anarchism No. 27 [dalam jaringan]
<http://library.nothingness.org/articles/SI/fr/display/338> [16 Agustus
2015].
Sumber Lainnya:
Anarchism,
Wikipedia
Anarchist
Economics, Wikipedia
Haymarket
Affair, Wikipedia
No comments:
Post a Comment